Rabu, 26 Agustus 2015
Surat dari seorang sahabat
Surat dari seorang sahabat
Keluh kesah seorang sahabat yang saat ini belajar di negeri Belanda sungguh sangat bagus sekali untuk kita pikirkan & kita renungkan oleh karenanya saya sangat ingin sekali mengajak anda semua untuk membacanya dan meresapi maknanya.
UntuK :Bapak S yang sangat saya hormati
Di manapun anda berada sekarang.
Pak S yang baik hati, bapak adalah orang yang pertama kali membuat saya tertarik pada sejarah. Saya teringat bagaimana bapak selalu menggambarkan peta (yang disederhanakan) untuk mengingatkan kami murid-murid tentang daerah mana yang sedang kami bicarakan.
Saya teringat bagaimana bapak menerangkan tentang perang dunia, tentang politik etis, dan juga tentang bagaimana kejadian di suatu negara bisa berpengaruh di negara lain.
Maafkan saya bapak, saya sebenarnya hanya mengingat sepotong-potong. Dan sayangnya di masa pendidikan saya yang selanjutnya saya berhenti belajar sejarah. Hanya sedikit sekali mempelajarinya. Saya menyesal.
Sekarang saya berkesempatan belajar di negeri seberang. Dan terkadang, sejarah merupakan sesuatu yang sering dipertanyajan, bahkan saat sedang berbincang santai saat makan malam bersama teman-teman. Saya bisa menjawab sebatas yang saya tahu. Sedikit sekali.
Saya terpana waktu teman dari berbagai belahan negara berbincang-bincang seperti:
"Waktu tahun segini..... ini yang terjadi di sini...."
"Ah saya tahu, negaramu kan sedang....., saat itu banyak yang pindah ke negara saya."
Bapak S guru sejarah saya yang saya hormati, betapa menyesal saya tak banyak belajar sejarah. Seorang teman saya yang sedang belajar hukum di negara seberang lainnya, pernah berkata pada saya:
"Saat kita sedang berada di luar negeri, orang-orang tidak akan menanyakan apa yang kita tahu tentang negara mereka (negara lain). Mereka akan bertanya apa yang kita ketahui tentang negara kita sendiri."
Pendapat teman saya benar sekali Pak. Saat saya sedang melanglang buana seperti ini, pertanyaan-pertanyaan tentang Indonesialah yang selalu ditanyakan pada saya. Kadang hal-hal sederhana, seperti, "Berapa jumlah penduduk di negaramu?" Saya suka lupa, saya ingat kita negara terpadat ke-4 di dunia. Untuk data detailnya saya biasanya ngintip Wikipedia.
Satu hal yang mencengangkan saya di sini, adalah saat saya belajar tentang negara-negara berkembang lainnya. Saya juga belajar bagaimana suatu "kekuatan besar" mengendalikan negara-negara dunia ketiga. Bukan saja dalam hal ekonomi, tapi juga pendidikan.
"Dunia global" sedang memaksa negara-egara berkembang untuk memajukan pendidikan. "Pendidikan untuk semua", begitu katanya. Tak ada yang salah untuk pendidikan untuk semua. Kenapa tidak? Tapi pendidikan semua seperti apa? Itu pertanyaan besarnya.
Saya sempat membca sebuah jurnal tentang suatu negara berkembang di benua lain (bukan asia). Di sana diceritakan bagaimana "standardized test" dipaksakan oleh sebuah lembaga besar agar negara tersebut bisa mendapat pinjaman dana. Negara berkembang harus meningkatkan kemampuan dalam numeracy dan literasi (bahasa). Begitu katanya. Soal kreativitas? Eits nanti dulu....
Pak S, guru sejarah saya yang lekat di hati saya. Sungguh bukan masalah bila ada pendidikan gratis bagi semua. Kenapa tidak? Indonesia kaya akan putra-putri yang pandai berhitung dan membaca? Kenapa tidak?
Tapi apa yang saya pelajari hari-hari ini mengingatkan saya akan pelajaran bapak beberapa tahun yang lalu. Saya ingat sekali. Ya, POLITIK ETIS!
Walau saya tidak ingat tahunnya, Bapak pernah bercerita bahwa Belanda pernah mau mendidik bangsa Indonesia karena punya kebutuhan. Mereka butuh juru ketik dan tulis.
Saya sempat terpikir bahwa apa yang terjadi hari ini pun bentuk modern dari politik etis. Ini bukan fakta, masih perkiraan saya saja. Pikiran akan politik etis modern ini berkali-kali mengelisahkan saya.
Kalau anak-anak Indonesia hanya pandai berhitung, bukan pandai berlogika, untuk apa?
Kalau anak-anak hanya bisa membaca, tanpa memahami makna, untuk apa?
Sebagai seorang yang pernah mengajar dan belajar matematika, saya mulai bertanya-tanya untuk apa murid-murid kita dipaksa "berhitung yang sulit-suit?" Kalkulus, limit, (Segala materi SMA). Mesti hafal rumus, bisa menghitung tapi pemahaman tak dibangun tak mengapa. Untuk apa?
Sekali lagi Pak S, saya kembali ingat apa yang bapak ajarkan dahulu, beberapa tahun yang lalu.
P O L I T I K E T I S
Apabila kita hanya bisa berhitung tanpa berlogika dan membaca tanpa memahami, tanpa memaknai, maka...
Kita belajar untuk kepentingan siapa?
Ada yang butuh kita.... tanpa logika kita
Ada yang butuh kita.... tanpa pemahaman kita
Ada yang butuh kita... tanpa kesadaran kita
Ada yang butuh kita... tanpa kreativitas kita
Bapak S, saat saya memulai surat ini, tak saya sangka akan jadi sepanjang ini. Ini hanya sebuah kegelisahan saya yang sempat menganggu pikiran saya.
Satu hal yang saya ingat juga, dari apa yang pernah bapak ajarkan pada saya. Bapak pernah berkata, dari politik etis di zaman Belanda, walau diawali tujuan-tujuan untuk kepentingan Kompeni, tetaplah lahir kalangan-kalangan terpelajar. Beberapa diantara mereka, turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan juga berperan dalam membangun bangsa. Diam-diam saya menaruh harap, apabila benar perkiraan saya, bahwa apa yang terjadi hari ini merupakan "politik etis modern", mudah-mudahan muncul 'pemikir-pemikir besar untuk bangsa' lainnya.
Hormat dari muridmu yang sedikit bandel dulu
DPS
Para orang tua dan guru yang saya cintai dimanapun anda berada, Mari kita renungkan..mari kita lakukan sesuatu untuk Indonesia yang lebih baik dari apa saja yang mungkin dan dari apa saja yang kita bisa.
Minggu, 23 Agustus 2015
Mengajari balita kita membaca, seberapa penting...?

Suatu hari saya di tanya apakah saya boleh mengajarkan anak saya membaca di usia dini...? Karena saat ini marak metode yang mengajarkan anak membaca di usia dini.
Agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, untuk itu mari kita tanya pada diri sendiri, Tujuan apa yang mendasari kita mengajari anak membaca. apakah kita ingin anak kita bisa membaca atau kita ingin anak kita menjadi gemar membaca..? Pertanyaan ini sangat penting, karena jelas sekali bedanya anak yang bisa membaca dengan anak yang suka/gemar membaca.
Kalau tujuan kita hanya agar anak kita bisa membaca, dan biasanya dengan salah satu tujuan lainya adalah untuk di pamerkan pada saudara, kerabat atau tetangga, sungguh ini sayang sekali dan tidak akan memberikan manfaat maksimal bagi anak kita.
Namun kalau tujuan kita adalah agar anak kita suka/gemar membaca maka mungkin jauh lebih bermanfaat bagi mereka kelak. Tapi sayangnya mengajarkan anak membaca diusia yang terlalu dini justru tidak membuat anak menjadi gemar membaca.
Hasil penelitian menjukkan bukti bahwa anak-anak yang diajari baca setelah usia 7-8 tahun justru membaca buku dan menulis jauh lebih banyak daripada anak yang di ajari baca sejak usia 5 tahun.
Kemudian hasil lain adalah bahwa kemampuan baca anak yang di ajari baca sejak usia 5 tahun dengan anak yang di ajari baca di usia 7-8 tahun akan sama kemampuannya pada saat mereka sama-sama berusia 10 tahun. Namun Minat baca anak yang diajari sejak usia lima tahun jauh lebih rendah dibanding anak yang diajari baca di usia 7-8 tahun.
Mengapa hal ini bisa terjadi...? Mari kita simak bersama penjelasannya.....
Otak anak pada usia dini itu bertumbuh sangat pesat, jika kita mengembangkan kemampuan kreatif mereka maka syaraf-syaraf kreatifnyslsh yang akan berkembang sangat pesat. Hal ini di tandai dengan rasa ingin tahu yang tinggi dari seorang anak. Namun jika tidak maka rasa ingin tahu atau syaraf-syaraf kreatifnya melemah, sehingga minat/rasa ingintahu anak pada berbagai hal juga melemah.
Oleh karena itu berdasarkan penelitian. Di ketahui bahwa jauh lebih penting mengajarkan anak kreatifitas sehingga syaraf-syaraf kreatifnya bertumbuh sempurna; syaraf kreatif yang tumbuh dgn sempurna ini akan akan membuat anak memiliki rasa ingin tahu yang besar akan berbagai hal, lalu setelah itu baru kemudian anak diajari bagaimana memenuhi rasa ingin tahunya tersebut melalu kemampuan membaca. Sehingga setelah dia bisa membaca maka dia akan gunakan kemampuan bacanya tersebut untuk mengeksplorasi segala informasi dari berbagai bahan bacaan untuk memenuhi rasa ingin tahunya tersebut.Begitulah penjelasan Kathy H Passeks, dalam bukunya yang berjudul Even Einstein did not learn a flash Card. atau Einstein ternyata tidak pernah belajar Flash Card.
Dari penjelasan tersebut ternyat di ketahui bahwa mengajari anak membaca di usaia dini justru kontra produktif terhadap pertumbuhan syaraf-syaraf kreatif yang dimilikinya. Sehingga pada saat anak sudah bisa membaca, dia tidak tahu untuk apa kemampuan itu dia gunakan, karena rasa ingin tahunya akan sesuatu tidak ada.
Oleh karena itu jika kita perhatikan pendidikan-pendidikan usia dini yang ada di negara-negara maju pada umumnya sebagian besar aktifitasnya di fokuskan untuk membangkitkan kreatifitas anak melalui berbagai macam permainan dan diskusi; mereka baru diperkenakan baca tulis hitung diusia kira-kira 7 atau 8 tahun.
Para orang tua dan guru yang saya cintai....
Coba perhatikan berapa banyak buku yang sudah kita baca dalam setahun...?apakah menurut anda minat membaca kita saat ini cukup besar...? Jika tidak, mungkin bisa jadi karena kita dulu sejak kecil sudah difokuskan untuk bisa membaca dan bukannya mengembangkan kreatifitas dan rasa ingin tahu kita.
Akan tetapi sekali lagi segalanya terpulang kembali pada masing-masing orang tua. Apakah kita ingin anak kita cepat bisa membaca saja atau kita ingin anak kita menjadi anak yang gemar membaca...
Sabtu, 22 Agustus 2015
Bagaimana jika anak saya mulai bertanya tentang "SEX"...?

Suatu hari saya ditanya oleh seorang ayah, dia bingung karena anak perempuannya yang berusia 7 tahun sudah mulai mengajukan pertanyaan seputar SEX....
Apakah sudah tepat jika saya jawab...? kapan sich waktu yang tepat untuk mengajari anak-anak tentang sex...?
Pertama-tama kita perlu memandang arti Sex itu sendiri dalam kapasitas yang tepat. Selama ini jika kita menyebut sex, maka pandangan kita sudah melayang-layang ke sesuatu yang bersifat buruk atau miring.
Sesungguhnya Sex itu bersifat netral,=""> bagaimana kita mengarahkan dan menggunakannyalah yang menyebabkan sex itu baik atau buruk. Jadi syarat pertama sebelum kita bicara pada anak adalah jelaskan bahwa sex itu adalah proses alami mahluk hidup dalam melangsungkan kehidupan spesiesnya.
Kapankah saat yang tepat untuk mengajari anak tentang sex, adalah saat pertamakali anak mulai menanyakannya pada kita. Yah itulah saat yang tepat.Jangan sampai terlambat, karena jika tidak ia akan mencari tahu dari orang atau pihak lain yang tidak jelas.
Ingat jangan pernah memarahi anak yang bertanya dan ingin tahu tentang sex,terimalah ini sebagai proses alami, dan bersyukurlah ia bertanya pada orang tuanya.
Terus pancinglah pertanyaan dari anak anda, mengenai hal apa saja yang telah ia ketahui dari teman-temanya tentang sex, dan apa yang dilakukan teman-temannya apakah terjadi penyimpangan, ajak anak anda untuk membahasnya.
Ingat jadikanlah diri kita sebagai konsultan sex bagi anak-anak kita, kalau bukan kita siapa lagi. Dan sekali lagi sex itu adaah sesuatu yang netral dan alami yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup, jadi bahaslah sex dalam konteks yang netral dan mendidik.
Jika setiap orang tua mau untuk melakukan hal ini bagi anak-anak remajanya, maka Insya Allah anak-anak kita akan tahu menentukan pilihan yang benar sehingga kasus-kasus penyalahgunaan seksual di usia dini dan aborsi akan bisa cegah dan dikurangi.
Lihat tayangan videonya di : http://www.youtube.com/watch?v=ugKqhRyK5CU


Suatu ketika saya pernah ditanya tentang Home Schooling; Lalu saya jawab Home schooling artinya Melakukan aktivitas Pembelajaran dirumah, tapi home schooling bukan berarti memindahkan kurikulum sekolah ke rumah. Home schooling juga merupakan pendidikan alternatif yang terjangkau oleh semua kalangan, memberikan kemerdekaan untuk memilih model dan waktu pembelajaran yang cocok bagi anak. Kurikulumnya bisa dibuat sesuai kebutuhan dan tujuan akhir pembelajaran bagi anak.
Dan berita baiknya adalah Home Schooling sudah mendapat restu dari pemerintah dan kalau tidak salah Kak Seto adalah sebagai ketuanya assosiasi Home Schooling di Indonesia.
Sebenarnya home schooling bukanlah barang baru, kalaupun mungkin masih barang baru di negeri kita namun di dunia sudah mulai dikenal lebih dari 20 tahun yang lalu. HS awalnya munculnya sekitar tahun 80an di Eropa dan Amerika, Home schooling muncul sebagai bentuk gejolak dan kegundahan orang tua terdidik terhadap kelayakan sekolah-sekolah yang saat itu. Karena dunia pendidikan saat itu dinilai lebih mementingkan nilai-nilai dan angka-angka semata ketimbang mendidik seorang anak secara utuh, yakni keseimbangan antara unsur intelektual, mental, dan moral/karakter..
Lalu apakah home schooling ini efektif dan bisa menghasilkan anak-anak yang berkualitas...?
Berdasarkan bukti-bukti sejarah para jenius dunia seperti Leonardo Davinci dan Thomas Edison adalah anak-anak yang dulunya di didik dengan metode home schooling. Dan dalam buku Home Schooling yang ditulis oleh Kak Seto, menjelaskan bahwa di Indonesia sendiri tokoh-tokoh besar seperti Ki Hadjar Dewantoro, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wachid Hasyim dan Buya Hamka dididik oleh orangtuanya dengan metode Home Schooling.
Selain itu Kak Seto sendiri selaku orang yang sangat senior dan sekaligus pakar di bidang pendidikan juga telah memilih home schooling bagi anaknya. Para orang tua yang berbahagia kiranya tokoh sekaliber Kak Seto tentunya tidak akan main-main dengan masa depan anak-anaknya. Bahkan jika tidak salah beliau juga secara langsung membawahi Asah Pena salah satu Home Schooling di Indonesia.
Apakah landasan berpikir ilmiah orang melakukan Home Schooling bagi anak-anaknya.
Hampir semua penelitian tentang otak dan anak selama 30 tahun terakhir menyatakan bahwa sebenarnya anak-anak adalah mahluk pembelajar yang luar biasa. Jadi yang dibutuhkan seorang anak dalam belajar adalah kesempatan untuk mengeksplorasi hal-hal yang menjadi minat terbesarnya, dan bukan harus mempelajari semua bidang mata pelajaran yang diwajibkan namun tidak diminatinya.
Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Nancy Alliot Ibunda Thomas Edison. Beliau tidak mengajari apapun pada anaknya melainkan hanya bertanya dan mendukung apa yang ingin di ketahui anaknya, yakni dengan menjadikan Garasi rumah sebagai bengkel kerja bagi anaknya, serta mengajak Thomas untuk menemukan buku-buku yang ingin dipelajarinya atau mencari orang yang bisa menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh ibu Nancy sendiri.
Jadi setiap anak itu sebenarnya bisa menjadi manusia-manusia luar biasa asakan ia punya minat belajar yang kuat dan mau bekerja keras – Itulah yang di katakan Thomas Edison pada saat ia berhasil membuat bola lampu listrik.
Semoga uraian singkat ini ini bisa memberikan gambaran mengenai Home Schooling bagi orang tua yang berminat melakukan pendidikan berbasis rumah bagi anak-anaknya.
Jumat, 07 Agustus 2015

Oleh : JIMI HARIANTO, M.Pd.I
MENAJEMEN BERBASIS ULUL ALBAB
A.
Latar
Belakang
Dengan
perkembangan zaman yang semakin komplek dan majunya proses ilmu pengetahuan dan
tehnologi akan selalu membawa perubahan dalam aspek kehidupan, dan kini hal
tersebut telah dirasakan dan menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang cukup
pesat, baik dari segi pendidikan, struktur ekonomi, sosial, budaya dan juga
dari segi pola dan gaya hidup, sehingga terjadi pergeseran suatu nilai baik
buruk, khususnya yang berkaitan dengan norma-norma agama[1]
Peningkatan
mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan dibidang pendidikan nasional dan
merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia
secara kaffah. Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
Islam di Indonesia sangat terkait dengan kegiatan dakwah islamiyah. Pendidikan
Islam berperan sebagai mediator dimana ajaran islam dapat disosoalisasikan kepada masyarakat dalam berbagai
tingkatannya. Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qura’an dan
Al-Sunnah. Sehubungan dengan itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan
pengamalan masyarakat terhadap ajaran
Islam amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan islam yang diterimanya.[2]
Bertolak dari
kerangka tersebut diatas, maka pendidikan Islam di Indonesia seringkali
berhadapan dengan berbagai problematika yang tidak ringan. Diketahui bahwa
sebagai sebuah system pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang antara
satu dan lainnya saling berkaitan.[3]
Komponen tersebugt meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan
profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran ,
sarana dan prasarana, evaluasi, pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen
yang terdapat dalam pendidikan ini sering berjalan apa adanya, alami dan
tradisional, karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang. Akibat dari
keadaan demikian, maka mutu pendidikan Islam seringkali menunjujkan keadaan yang
kurang mengembirakan.
Landasan dan
dasar pendidikan Islam yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah belum benar-benar digunakan
sebagai mestinya. Hal ini sebagai akibat
belum adanya sarjana dan pakar di Indonesia yang secara khusus mendalami
pemahaman Al-Quran dan Al-Sunnah dalam perspektif pendidikan Islam.[4]
Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan Al-Qur’an Al-Sunnah
yang berhubungan dengan pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan
dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai akibat
dari kekurangan tersebugt diatas, maka tujuan dan visi pendidikan Islam juga
masih belum berhasil dirumuskan dengan baik. Tujuan pendidikan Islam seringkali
diarahkan untuk menghasilkan
manusia-manusia yang hanya menguasi ilmu Islam saja, dan visinya diarakan untuk
mewujudkan manusia yang salih dalam arti
yang taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akhirat saja. Akibatnya dari
keadaan yang demikian ini, maka lulusan pendidikan Islam hanya memiliki
kesempatan dan peluang yang terbatas, yaitu sebagai pengawal moral bangsa.
Mereka kurang mampu bersaing dan tidak mampu merebut peluang dan kesempatan
yang tersedia dalam memasuki lapangan kerja. Akibat lebih lanjut lulusan
pendidikan Islam semakin termarginalisasikan dan tak berdaya. Keadaan yang
demikian merupakan masalah besar yang perlu segera diatasi, lebih- lebih lagi
jika dihubungnkan dengan adanya persaingan yang makin kompetitif pada era
globalisasi.
B.
Konsep
Dasar Menajemen Berbasis Ulul Albab
Dalam Al Quran,
ulul albab adalah seseorang dengan kualitas tertentu. Kata al-bab, merupakan
kata jamak dari al-lub, yang artinya otak, pikiran, intelek.[5]
Jadi seorang ulul al-bab adalah seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari
orang lain, baik karena kecerdasan maupun intensitasnya. Dengan perkataan lain,
ulul al-bab adalah seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-cendekia, atau seorang
filosof yang berfikir mendalam. Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai
al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual.
Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an.
Namun, Karena itulah
para mufassir kemudian memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul
albab, Imam Nawawi, misalnya menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang
berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting mereka
mengerti, mengusai dan mengamalkan ajaran Islam.
Sementara itu
Ibn Mundzir menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertakwa kepada
Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan
masyarakat, elit ataupun marginal. Sebelumnya melihat tanda-tanda atau
ciri-ciri ulul albab yang disampaikan Al-Qur’an, ada baiknya kita diskusikan
pengertian istilah-istilah ini. Dalam bahasa Indonesia ada tiga istilah yang
hampir sama tapi sangat jauh berbeda artinya sarjana, ilmuwan dan intelektual.
Sarjana diartikan sebagai orang yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi
dengan menggondol gelar sarjana. Jumlahnya amat banyak, karena setiap tahun
perguruan tinggi selalu memprodoksi sarjana, Ilmuan adalah mereka yang
mendalami ilmunya kemudian berusaha mengembangkannya, baik dengan pengamatan
atau analisa sendiri. Dalam berbagai kesempatan, seorang ilmuwan terkadang
berbicara dengan bahasa yang universal dan terkesan asing, sehingga sulit
dipahami umatnya. Dari sekian sarjana, hanya beberapa yang menjadi ilmuwan.
Lainnya hanya sibuk dalam kegiatan-kegiatan rutin. Adapun intelektual adalah mereka yang
terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita, yang mengatasi
kebutuhan-kebutuhan praktis. Maksudnya, intelektual adalah orang yang menggarap
sekaligus menggabungkan antara teori dengan operasionalnya berdasarkan
gagasan-gagasan normatif. Kaum intelektual adalah mereka yang berusaha
membentuk lingkungan dan masyarakatnya dengan gagasan-gagasan analisis dan
normatif. Ali Syariati memberi istilah intelektual dengan Rausyanfikr yang
artinya pemikir yang tercerahkan. Rausyanfikr tidak hanya menemukan kenyataan
atau menyajikan fakta sesuai apa adanya seperti kerja ilmuwan tetapi berusaha
menemukan kebenaran sekaligus memberikan penilaian terhadap sesuatu bagaimana
seharusnya. Selain itu, rausyafikr
tidak bersikap netral dalam pekerjaannya sebagaimana ilmuwan. Rausyanfikr
terjun langsung
melibatkan diri pada idiologi. Ia adalah "fa'il" (penentudan pelaku)
sejarah, bukan "maf'ul" (objek) sejarah. Terjemahanyang paling tepat
untuk rausyanfikr, mungkin, adalah intelektual dalam arti yang
sebenar-benarnya. Menurut Jalaluddin Rahmad intelektual bukan sekedar sarjana
atau ilmuwan. Intelektual adalah orang yang benar-benar merasa terpanggil untuk
memperbaiki masyarakat dan bangsanya, menangkapaspirasinya, kemudian merumuskan
dan menawarkan strategi serta alternatif pemecahannya. Sudah barang tentu,
dalam hal ini mereka ikut terjun langsung dalam pelaksanaannya, bukan sekedar
menyodorkan konsep. Kaum intelektual
sangat dekat dengan umatnya, sehingga segala kebutuhan dan kesusahan umat dapat
diketahui dengan jelas. yang membedakan ulul albab dengan ilmuan atau
intelektual lainnya adalah, seorang ulul albab rajin bangun tengah malam untuk
rukuk dan bersujud dihadapan Allah. Dengan demikian, ulul albab adalah sama
dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Dalam diri ulul
albab berpadu sifat-sifat ilmuan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang
dekat dengan Allah SWT. Dengan begitu, konsep-konsep penyelesaian yang disodorkan
benar-benar bisa menemui sasaran. Tegasnya, intelektual bukan sekedar orang
yang hanya dapat berbicara di mimbar dan seminar atau kerja di belakang meja,
melainkan orang yang mempunyai konsep sekaligus mampu mengaplikasikannya. Dalam Islam, seorang intelektual bukan
sekedar orang yang sanggup melahirkan gagasan-gagasan normatif dan aplikasinya,
tetapi sekaligus juga memahami ajaran dan sejarahagamanya. Artinya, intelektual
muslim harus menguasai ajaran-ajaran agamanya.
Sejauh itu Al-Qur’an sendiri
tidak menjelaskan secara definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya
menyebutkan tanda-tandanya saja. Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam
Al-Qur’an adalah:
1. Bersungguh-sungguh
menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (Al-Qur’an
maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya,
kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama.
cÎ)
Îû
È,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏF÷z$#ur
È@ø©9$#
Í$pk¨]9$#ur
;M»tUy
Í<'rT[{
É=»t6ø9F{$#
ÇÊÒÉÈ
"Sesungghnya,
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran,
190).[6]
2. Selalu
berpegang pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik
dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan
mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung
banyak orang. "Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun
kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu.
(#qà)¨?$$sù
©!$#
Í<'ré'¯»t
É=»t6ø9F{$#
öNä3ª=yès9
cqßsÎ=øÿè?
ÇÊÉÉÈ
“Bertaqwalah
hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS,Al-Maidah, 100)[7]
3. Teliti dan kritis dalam
menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang
lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain,
sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain.
4.
Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah
penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan.
5. Ulul Albab senansiasa "membakar"
singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang
Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita
serta kebobrokan moral manusia di muka bumi.
6.
Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan
manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab
tidak mau berbuat semena-mena.
C. Tujuan Menajemen Berbasis Ulul Albab
Menjemen berbasis ulul albab bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan dalam iman dan takwa, tampaknya
seorang ulul-albab tak jauh berbeda dengan seorang intelektual; ini jika
dilihat dari beberapa tanda ulul-albab yang telah disebutkan seperti:
bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan keyakinannya, dan
merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Namun dalam ayat lain, Allah
swt dengan jelas membedakan seorang ulul-albab dengan intelektual:
ô`¨Br&
uqèd
ìMÏZ»s%
uä!$tR#uä
È@ø©9$#
#YÉ`$y
$VJͬ!$s%ur
âxøts
notÅzFy$#
(#qã_ötur
spuH÷qu
¾ÏmÎn/u
3
ö@è%
ö@yd
ÈqtGó¡o
tûïÏ%©!$#
tbqçHs>ôèt
tûïÏ%©!$#ur
w
tbqßJn=ôèt
3
$yJ¯RÎ)
ã©.xtGt
(#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
ÇÒÈ
“Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan
berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya:
samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu
dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. Az zumar:9)
Dengan merujuk
kepada firman Allah di atas, inilah “tanda khas” yang
membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelektual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan rukuk di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah Swt, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya.
membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelektual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan rukuk di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah Swt, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya.
Tanda khas yang lain disebutkan
dalam Al-Quran:
tûïÏ%©!$#
tbrãä.õt
©!$#
$VJ»uÏ%
#Yqãèè%ur
4n?tãur
öNÎgÎ/qãZã_
“Dia zikir kepada Allah dalam
keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan keadaan berbaring.” (QS 3:191)
Kalau dapat saya simpulkan dalam
satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan,
intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat
ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah swt.
Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir
ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali
untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari
jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus
ulul-albab.
D.
Manfaat
Menajemen Berbasis Ulul Albab
Sosok manusia
ulû al-albâb adalah orang yang mengedepankan dzikr, fikr dan amal shaleh. Ia
memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang
lembut dan semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan
sebenar-benarnya perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadirannya di muka
bumi sebagai pemimpin menegakkan yang hak dan menjauhkan kebatilan. Ulû al-albâb adalah manusia yang bertauhid.
Kalimah syahadah sebagai pegangan pokoknya, “Asyhadu an la ilâha illâ Allâh, wa
asyhadu anna Muhammad Rasûl Allâh.” Sebagai penyandang tauhid, ia berpandangan
bahwa tidak terdapat kekuatan di muka bumi ini selain Allah. Semua makhluk
manusia berposisi sama. Jika terdapat seseorang atau sekelompok/sejumlah orang
dipandang lebih mulia, adalah oleh karena ia atau mereka telah menyandang ilmu,
iman dan amal shaleh (taqwa). Penyandang derajat ulû al-albâb tidak akan takut
dan merasa rendah di hadapan siapapun sesama manusia. Kelebihan seseorang
berupa kekuasaan, kekayaan, keturunan/nasab dan keindahan/ kekuatan tubuh tidak
menjadikannya ia lebih mulia dari pada yang lain. Mencari ilmu bukan sebatas
untuk memperoleh ijazah dan kemudahan dalam mencari pekerjaan dan rizki. Ulû
al-albâb selalu yakin pada janji Allah bahwa rizki seseorang selalu berada di
bawah keputusan Tuhan. Tidak selayaknya seseorang merisaukan terhadap rizki dan
jenis pekerjaan yang akan diperoleh. Kebahagiaan bukan semata-mata terletak
pada keberhasilan mengumpulkan rizki, tetapi pada kedekatan dengan Yang Maha
Kuasa, Allah swt. Mahasiswa mencari ilmu pengetahuan lewat observasi,
eksperimen dan membaca berbagai literatur bukan semata-mata untuk memperoleh
indeks prestasi (IP) dan/atau sertifikat/ijazah, apalagi dikaitkan untuk
mendapatkan pekerjaan dan rizki, tetapi adalah kewajiban agar menyandang
derajad ulû al-albâb.
Manfaat menajemen
pendidikan berbasis ulul albab di perguruan tinggi diarahkan untuk menjadikan
seluruh mahasiswanya :
1.
Berilmu pengetahuan yang luas,
2.
mampu melihat/membaca fenomena alam dan sosial
secara tepat,
3.
Memiliki otak yang cerdas,
4.
berhati lembut dan bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai
pengejawantahan amal shaleh.
Jika kelima
kekuatan ini berhasil dimiliki oleh siapa saja yang belajar di kampus ini,
artinya pendidikan ulû al-albâb sudah dipandang berhasil. Sebab, dengan
ciri-ciri itu seseorang diharapkan akan memiliki kekokohan akidah dan kedalaman
spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional.
E.
Implementasi
Menajemen Berbasis Ulul Albab
Manajemen Pengelolaan
dan Pengembangan Kampus Al-Qur’an bagi
umat Islam adalah petunjuk segala kehidupan, tak terkecuali dalam mengembangkan
organisasi pendidikan yang melibatkan orang banyak. Membangun kampus sama
artinya dengan membangun orang, baik dari sisi karakter, perilaku, keilmuan
maupun ketrampilan. Mengatur orang
banyak dengan berbagai sifatnya harus menggunakan pendekatan kemanusiaan.
Sebab, manusia selain memiliki potensi maslahah, sekaligus juga menyandang
potensi sifat-sifat mafsadah. Kedua sifat yang berlawanan itu tidak akan dapat
dihilangkan, oleh karena itu harus disalurkan pada hal yang menguntungkan. Selanjutnya harus dibedakan antara manajemen
pengelolaan kampus dan manajemen pengembangan kampus. Manajemen pengelolaan
kampus lebih tertuju pada penataan atau pengaturan terhadap seluruh kegiatan
pelayanan pendidikan. Sedangkan manajemen pengembangan kampus lebih diarahkan
pada upaya menumbuh-kembangkan kampus agar tahap demi tahap mengalami kemajuan.
Kedua jenis manajemen tersebut diuraikan secara garis besar.
1.
Manajemen
Pengelolaan Kampus
Manajemen yang
dikembangkan agar lembaga ini tumbuh secara wajar, dinamis, inovatif dan
terhindar dari hambatan psikologis harus selalu menumbuh-kembangkan suasana
kebersamaan, keterbukaan, tanggung jawab, amanah dan profesional. Sebagai
lembaga pendidikan, kampus ini memiliki peran dan tanggung jawab menumbuh
-kembangkan anak-anak muda yang penuh harap agar kelak menjadi manusia ulû
al-albâb. Lembaga ini tak ubahnya sebidang persemaian anak manusia yang harus
tumbuh secara wajar, sehat dan sempurna. Sedemikian berat peran yang harus
diemban oleh lembaga pendidikan tinggi ini. Oleh karena itu, lembaga ini harus
disangga oleh orang banyak, dan bukan justru saling memperebutkan amanah.
Perebutan yang berlebihan hanya akan memperlemah kekuatan yang diperlukan untuk
menyangga beban berat tersebut. Sebagai langkah antisipatif untuk menjaga
kebersamaan yang kukuh kampus ini harus menjauhkan diri dari atmosfir politik.
Sebab, kampus bukan lembaga politik, melainkan lembaga akademik. Selain itu
untuk menjaga keutuhan bersama maka harus selalu diwaspadai, jika muncul gejala
seseorang atau sekelompok orang merasa terpinggirkan, maka harus segera
dihimpun. Keutuhan dan kebersamaan dalam kampus ini harus ditempatkan pada
posisi strategis yang tak boleh diabaikan. Partisipasi semua pihak, sebagai
syarat agar organisasi dapat tumbuh sehat, harus didasarkan atas
profesionalisme. Penetapan seseorang menduduki jabatan tertentu harus dipilih
secara fair, objektif dan demokratis. Penempatan seseorang untuk menduduki jabatan
tertentu yang hanya didasarkan pada pertimbangan kedekatan hubungan kelompok
atau primordial akan meruntuhkan semangat partisipasi. Profesionalisme menuntut
rasionalisme yang merupakan ciri khas perguruan tinggi. Hal lain yang tidak
boleh dilanggar adalah tumbuhnya rasa ketidak-adilan, termasuk dalam pembagian
informasi. Perasaan tidak adil akan melahirkan friksi-friksi yang mengakibatkan
lembaga menjadi tidak sehat. Siapa saja akan ikhlas mendarmabaktikan apa saja
yang dimiliki, jika mereka merasa diberlakukan secara adil dan jujur. Sikap
tidak fair, tidak jujur dan tidak adil, selalu dibenci oleh semua orang.
Relevan dengan itu, tepatlah rumusan sebuah prinsip manajemen kontemporer yang
mengatakan bahwa pemimpin harus cerdik, tetapi sekali-kali jangan mencoba-coba
menggunakan kecerdikannya untuk menipu orang lain. Di sini suasana keterbukaan
lagi-lagi penting untuk menghindari lahirnya sû’ al-zhann atau saling tidak
mempercayai yang akan berdampak negatif pada pertumbuhan organisasi. Polarisasi warga kampus atas dasar perbedaan
paham keagamaan, etnis atau asal daerah diberi toleransi, dan bahkan
dikembangkan sepanjang tidak mengganggu keutuhan warga kampus secara
keseluruhan. Perbedaan yang melahirkan polarisasi itu suatu ketika menjadi
penting jika dengan polarisasi itu dapat ditumbuh-kembangkan suasana fastabiqû
al-khairat, sehingga dapat memacu pertumbuhan dan dinamika kampus.
2.
Manajemen
Pengembangan Kampus
Dalam al-Qur’an
terdapat petunjuk bagaimana mengembangkan komunitas manusia. Beberapa ayat yang
dikenal sebagai awal turunnya al-Qur’an, yakni awal surat al-`Alaq dan awal
surat al-Muddatstsir, memberikan inspirasi bagaimana sebuah gerakan membangun
masyarakat seharusnya dilakukan. Surat al-`Alaq diawali dengan kata qirâ’ah
atau iqra’, yaitu perintah membaca. Kemudian pada ayat pertama surat al
Muddatstsir, yang selama ini dikenal sebagai ayat-ayat yang turun setelahnya,
berisi seruan pada kaum berselimut (muddatstsir), mereka diperintah untuk qiyâm
atau bangkit. Perintah selanjutnya adalah melakukan bersuci (thahârah). Dalam
konteks bersuci terdapat ayat perintah meninggalkan angkara murka dan larangan
terhadap orang yang berharap/mengangan-angankan sesuatu yang mustahil terjadi
atau memberi sesuatu yang jumlahnya sedikit agar memperoleh sesuatu yang
jumlahnya lebih banyak.(wa ar-rujza fahjur, wa lâ tamnun tastaktsir). Ada dua
ayat lagi, yang penting sekali kaitannya dengan perjuangan atau berjihad.
Berjuang harus dimaksudkan untuk mengagungkan asma Allah (wa rabbaka fakabbir).
Selain itu harus bersabar (wa li rabbika fashbir). Sebagai makhluk beriman maka
seluruh rangkaian amal dan pengabdiannya harus diarahkan pada tujuan tunggal,
yaitu menggapai ridha Allah swt. Seharusnya pengembangan lembaga pendidikan
tinggi Islam mengacu pada petunjuk ayat-ayat al-Qur’an ini. Pertama dimulai
dari membaca (qirâ’ah) kondisi internal maupun eksternal kampus, meliputi:
potensi, tantangan, maupun peluangnya. Pemahaman terhadap hal itu semua
melahirkan kesadaran. Muddatsir adalah gambaran orang yang lagi pasif (berselimut),
maka hal itu merupakan sebuah seruan untuk melahirkan kesadaran agar berlanjut
terjadi qiyâm atau kebangkitan. Kesadaran akan menjadi sebuah kekuatan
pendorong terjadinya kebangkitan.
KESIMPULAN
Sebagai sebuah konsep awal, Tarbiyah
Ulî al-Albâb ini masih memerlukan pengujian yang seksama. Sebab, konsep ini
disusun semata-mata didasarkan atas pandangan-pandangan yang lebih bersifat
idealis, yang bisa jadi jauh dari kebutuhan nyata atau aspirasi masyarakat yang
sedang berkembang. Sebuah konsep dapat dijalankan dengan baik dan maksimal jika
ada kesesuaian dengan kekuatan dan kenyataan di lapangan. Sementara dalam
realitasnya akhir-akhir ini masyarakat sedang dilanda oleh budaya ekonomi
kapitalistik yang serba menuntut keuntungan besar dan cepat dari usaha dan
modal yang serendah-rendahnya. Jika ungkapan tersebut betul, maka konsep ini
sangat kontradiktif dengan budaya masyarakat yang berkembang saat ini. Akan tetapi, sadar akan fenomena kualitas
pendidikan yang semakin hari tidak menunjukkan kemajuan, bahkan cenderung
merosot, maka konsep ini diharapkan, sekalipun mungkin dinilai bersifat utopis,
menjadi bukti bahwa ternyata masih ada sebagian masyarakat yang benar-benar
menaruh keprihatinan terhadap kualitas pendidikan. Atas dasar keprihatinan yang
amat mendalam tentang pendidikan kita selama ini, konsep ini disusun.
[1]
Khusrur Rony Al Jufri, Pengaruh Iptek Dalam Kehidupan, ( Mimbar Depar
Temen Agama, Jawa Timur Tahun
2005 ke XIX ), hlm. 46
[2]
Nata Abuddin, manajemen pendidikan, Prenada Media, bogor, 2003,hlm. 3.
[3]
Lihat sudirman. Dkk. Ilmu pendidikan. ( Jakarta : mutiara, 1986). Cet.
I, hlm. 65
[4] Diantar buku yang membahas pendidikan islam
dalam perspektif Al-Quran adalah Muhammad quthb.
[5] Nurhidayatullah,
Insan kamil, Metode Islam Memanusiakan Manusia, (Bekasi, Inti Media,
2002), hlm. 219
[6] Semua
ayat Al Quran diambil dari Al Quran dan ter jemahan Departemen Agama RI
(Surabaya, Al Hidayah),hlm 75
[7]
Semua ayat Al Quran diambil dari Al Quran dan ter jemahan Departemen Agama
RI (Surabaya, Al Hidayah),hlm 124
Langganan:
Postingan (Atom)