Mengarungi Samudra Kehidupan, kita ibarat pengembara hidup merupakan perjuangan yang akan jadi saksi pengorbanan. Baca Selengkapnya: Cara Membuat Tulisan Berjalan (Marquee) Pada Blog http://bisikan.com/cara-membuat-tulisan-berjalan-marquee-pada-blog#ixzz3jvtZ953R

Senin, 14 September 2015

Tanya jawab seputar shalat




Tanya jawab seputar shalat

  1. Pada sebagian wilayah terdapat siang atau malam yang berlalu dalam waktu yang lama, ada juga yang berlalu sangat singkat sekali, sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan shalat lima waktu, bagaimana penduduk wilayah tersebut melakukan shalatnya?
J:  Merupakan kewajiban bagi penduduk suatu daerah yang singkat atau malamnya yang sangat panjang untuk melakukan shalat lima waktu berdasarkan perkiaraan, jika disana tidak terdapat tergelincir atau terbenamnya matahari dalam jangka waktu 24 jam. Terdapat riwayat yang shahih dari Rasulallah berdasarkan hadits Nawwas bin Sum'an al Mukharraj dalam shahih Muslim tentang hari pada saat datangnya Dajjal yang digambarkan bagaikan setahun, shahabat bertanya kepada Rasulallah   tentang hal tersebut, maka beliau bersabda: "Perkirakanlah ukuran (waktunya)", demikian pula dengan hari yang keduanya, yaitu sehari bagaikan sebulan. Demikian pula yang seharinya bagaikan seminggu. Adapun wilayah yang siangnya sangat pendek atau siangnya sangat panjang atau sebaliknya maka hukumnya jelas, yaitu mereka shalat sebagaimana pada hari-hari umumnya … meskipun siang atau malamnya sangat pendek berdasarkan umumnya dalil.

  1. Sebagian orang ada yang shalat fardhu dalam keadaan terbuka kedua bahunya, khususnya pada saat pelaksanaan ibadah haji, yaitu saat mengenakan pakaian ihram. Adapun hukumnya ?
J: Jika dia tidak mampu menghindarinya, maka tidak mengapa baginya hal yang demikian itu berdasarkan firman Allah : qs. At Thagabun:16. dan juga berdasarkan hadits Rasulallah dari Jabir bin Abdullah : "Jika bajunya lebar maka berselimutlah dengannya dan jika bajunya sempit maka jadikanlah sebagai kain". (HR. Mutafaq Alaih)
Adapun jika dia mampu untuk menutup kedua bahunya atau salah satu diantara keduanya, maka wajib baginya untuk menutup salah satu diantara keduannya menurut salah satu pendapat ulama yang lebih kuat, jika hal tersebut dia abaikan maka shalatnya tidak sah, berdasarkan hadits Rasulallah : "Janganlah salah seorang diantara kalian shalat dengan mengenakan satu baju yang tidak terdapat diatas bahunya sesuatu apapun". (HR. Mutafaq alaih).

  1. Sebagian orang ada yang terlambat shalat fajar (shubuh) hingga waktu Isfar (mendekati terbitnya matahari) dengan alasan bahwa hal tersebut berdasarkan hadits: "Lakukanlah (shalat) fajar pada saat mendekati terbitnya matahari, karena sesungguhnya hal tersebut sangat besar pahalanya". Apakah hadits tersebut shahih ? dan bagaimana mengkompromikannya dengan hadits: "(Amal yang paling utama adalah) shalat tepat pada waktunya".
J: Hadits yang disebutkan adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan dengan sanad yang shahih dari Rafi' bin Khudaij , dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulallah shalat subuh pada saat hari masih gelap, begitu juga tidak bertentangan dengan hadits "(amal yang paling utama adalah) shalat tepat pada waktunya". Akan tetapi makna yang dimaksud menurut jumhur ulama adalah menunda shalat fajar sampai jelas datangnya waktu fajar, kemudian dilaksanakan sebelum hilangnya kegelapan sebagaimana dahulu Rasulallah melakukannya, cuma saja saat Mudjalifah (saat melaksanakan ibadah haji) diutamakan untuk melakukannya lebih cepat, yaitu saat terbitnya fajar, sebagaimana perbuatan Rasulallah pada saat haji wada'.
Dengan demikian hadits-hadits yang shahih tersebut dapat dikompromikan tentang saat melaksanakan shalat fajar, akan tetapi semua itu hanyalah masalah keutamaan (afdhailiah).
Dan boleh mengakhirkan shalat subuh sampai sesaat sebelum terbitnya matahari, sebagaimana hadits Rasulallah : "Waktu shalat fajar adalah sejak terbitnya fajar selama belum terbitnya matahari". (HR. Muslim dalam shahihnya dari Abdullah bin Amr bin 'Ash)

4.      Kami menyaksikan sebagian orang ada yang memendekkan bajunya (gamis) dan memanjangkan celananya, bagaimana pendapat Anda?
J: Berdasarkan sunnah maka hendaknya (ujung) pakaian yang dikenakan antara setengah betisnya hingga mata kakinya dan tidak boleh menurunkannya hingga kebawah mata kaki, berdasarkan hadits Rasulallah : "Pakaian yang (menjulur) ke bawah mata kaki, maka dia berada di dalam neraka". (HR. Bukhari dalam shahihnya)
Tidak ada bedanya antara celana dan kain, kemeja dan gamis, Rasulallah menyebutkan kain dalam hadits tersebut sebagai perumpamaan saja bukan pengkhususan, yang utama hendaknya pakaian yang dikenakan hanya sampai setengah betisnya, berdasarkan hadits Rasulallah : "Pakaian seorang mukmin adalah (sampai) setengah betisnya".

5.      Apakah hukumnya jika diketahui kemudian bahwa shalat yang dilakukannya tidak menghadap kiblat setelah dia berijtihad? Apakah ada bedanya antara jika hal tersebut terjadi di negeri kafir, dan negeri muslim atau di tengah padang pasir?
J:  Jika seorang berada dalam sebuah perjalanan atau berada di tempat yang tidak mudah baginya untuk mengetahui arah kiblat maka shalatnya sah, jika dia telah berijtihad untuk menetapkan arah kiblat, dan ternyata setelah itu tidak mengarah ke kiblat.
Adapun jika berada di negeri muslim, maka shalatnya tidak sah, karena memungkinkan baginya untuk bertanya siapa saja yang dapat menunjukkan arah kiblat, sebagaimana mungkin baginya untuk mengetahuinya dengan melihat masjid.

  1. Kami mendengar banyak orang yang melafadzkan (mengucapkan) niat saat hendak shalat, apakah hukumnya? Apakah perbuatan tersebut ada landasan syar'inya ?
J: Tidak terdapat dalil dalam syariat tentang mengucapkan niat, tidak juga terdapat riwayat dari Nabi dan dari para shahabat bahwa mereka mengucapkan niat saat hendak shalat. Tempat niat hanyalah di hati, berdasarkan hadits Rasulallah : "Sesungguhnya setiap amalan berdasarkan niatnya, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan". (Mutafaq alaih, dari hadits Amirul Mukminin Umar bin Khattab )

7.      Kami menyaksikan sebagian orang yang berdesak-desakkan di Hijr Ismail agar dapat shalat di dalamnya. Apakah hukumnya melakukan shalat di dalamnya? apakah terdapat  keistimewaan pada perbuatan tersebut ?
J: Shalat di Hijir Ismail termasuk sunnah, karena ia bagian dari Ka'bah dan terdapat riwayat shahih dari Nabi bahwa dia masuk kedalam ka'bah pada saat terjadinya Fathu Makkah dan shalat di dalamnya dua rakaat". (mutafaq alaih).
Juga terdapat riwayat dari Rasulallah bahwa dia berkata kepada Aisyah saat hendak memasuki Ka'bah "shalatlah di dalam Hijr (Ismail), karena dia termasuk Ka'bah".
Adapun tentang pelaksanaan shalat fardhu, maka sebagai tindakan yang lebih hati-hati (ikhtiat) tidak dilaksanakan di dalam Ka'bah atau Hijr Ismail, karena Rasulallah tidak melakukan hal tersebut, bahkan sebagian ulama ada yang berkata, perbuatan tersebut tidak sah karena dia termasuk Baitullah.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pelaksanaan shalat fardhu hendaknya dilakukan di luar ka'bah dan Hijr Ismail, sebagai tindakan mencontoh Rasulallah dan keluar dari perbedaan pendapat para ulama yang mengatakan tidak sah. Semoga Allah memberikan taufikNya.

  1. Sebagian wanita tidak dapat membedakan antara darah haidh dan istihadhah, sebab kadang-kadang darah tersebut keluar secara terus menerus, maka dia berhenti shalat selama keluarnya darah tersebut, bagaimanakah hokum yang demikian itu?
J: Haidh adalah darah yang Allah tetapkan untuk kaum wanita setiap bulan pada umumnya. Sebagaimana riwayat yang terdapat dalam hadits shahih.
            Adapun bagi wanita yang mendapatkan istihadhah, ada tiga kondisi:
Pertama: jika dia baru pertama kali mengalami hal tersebut maka hendaknya setiap bulan –selama darah itu ada- tidak melakukan shlaat, puasa dan bersetubuh dengan suaminya sehingga datangnya masa suci. Jika kondisi tersebut (keluar darah) berlangsung Selama lima belas hari atau kurang menurut jumhur ulama.
Kedua: jika keluarnya darah secara terus menerus lebih dari lima belas hari, maka hendaknya dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari dengan membandingkan wanita lain yang lebih mirip dengannya (usia atau fisiknya) dari kerabatnya jika dia tidak dapat membedakan antara darah haidh atau yang lainnya, tetapi jika dia mampu membedakannya, maka dia tidak boleh shalat dan puasa serta bersetubuh dengan suaminya selama mendapati darah yang dapat dibedakannya karena warnanya yang hitam atau berbau, dengan syarat hal tersebut tidak berlangsung lebih dari lima belas hari.
Ketiga: jika dia memiliki waktu haidh tertentu, maka dia hitung masa haidhnya selama waktu tersebut, dan setelah berakhir dia mandi dan berwudhu setiap kali masuk waktu shalat jika darahnya masih tetap keluar dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya sampai datang waktu haidh berikutnya pada bulan kemudian.
            Inilah ringkasan dari beberapa hadits nabi tentang wanita mustahadhah, dan telah diterangkan oleh Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya Bulughul Maram dan Ibnu Taimiyah rahimahumullah dalam kitab al Muntaqa.

  1. Jika seorang tidak melakukan shalat pada waktunya –dhuhur misalnya- kemudian dia baru ingat saat shalat Ashar sedang dilaksanakan, apakah dia ikut berjamaah dengan niat Ashar atau dengan niat Dhuhur ? atau shalat Dhuhur sendirian dahulu kemudian shalat Ashar ?
apakah maksudnya ucapan para fuqaha "Jika dikhawatirkan shalat yang sedang ada waktunya tidak dapat dilakukan maka gugurlah urutannya", apakah kekhawatiran tidak mendapatkan jama'ah menggugurkan urutan shalat ?
J: Yang benar menurut syariat bagi orang yang mengalami hal tersbut, hendaknya dia shalat bersama jama'ah dengan niat shalat Dhuhur. Kemudian setelah itu shalat Ashar, karena wajib menjaga urutan shalat (Dhuhur didahulukan dari Ashar, dan seterusnya). Dan hal tersebut tidak gugur hanya karena kekhawatiran tidak mendapatkan jamaah.
Adapun ucapan para fuqaha –rahimahullah- "jika dikhawatirkan keluarnya waktu shalat yang ada maka gugurlah urutannya" maksudnya adalah: bagi orang yang terlewat dari waktu shalat tertentu, maka (jika ingin mengqadanya), dia harus melakukannya sebelum melakukan shalat yang sedang ada waktunya. Tetapi jika waktu shalat tersebut sempit maka shalat yang sedang ada waktunya tersebut dia dahulukan. Misalnya seorang belum melakukan shalat Isya', dan dia baru ingat sesaat sebelum terbitnya matahari, padahal saat itu dia belum shalat subuh, maka dia shalat shubuh dahulu sebelum hilang waktunya, karena waktu tersebut telah ditetapkan untuk shalat shubuh, setelah itu dia mengqadha shalatnya.

  1. Banyak wanita yang menganggap remeh saat melakukan shalat, ada yang tampak pergelangan tangannya atau sedikit darinya, begitu juga dengan kakinya, bahkan kadang sebagian betisnya, apakah shalat seperti itu sah ?
J: Wajib bagi kaum wanita merdeka dan baligh untuk menutup seluruh badannya dalam shalat, kecuali wajah dan telapak tangannya, sebab semua itu adlah aurat, jika seorang wanit shalat sementara ada yang tampak sedikit dari auratnya, seperti betisnya,  kakinya atau sebagian kepalanya maka shalatnya tidak sah berdasarkan hadits nabi : "Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan khimar (penutup kepala /jilbab)". (HR. Ahmad dan ahlus sunan kecuali an Nasai dengan sanad shahih). Yang dimaksud wanita yang sudah haidh adalah wanita baligh. Juga berdasarkan hadits Rasulallah : "Wanita adalah aurat".
Juga berdasarkan riwayat Abu Daud rahimahullah dari Ummu Salamah , dari Rasulallah , dia (Ummu Salamah) bertanya kepada Rasulallah tentang wanita yang shalat dengan mengenakan baju dan kerudung tanpa mengenakan kain, maka beliau bersabda: "jika bajunya lebar dan menutup kedua kakinya (maka shalatnya sah)". Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Bulughul Maram, para imam membenarkan mauqufinya hadits ini kepada Ummu Salamah. Jika terdapat orang yang bukan muhrim didekatnya maka dia wajib jujga menutup wajah dan kedua telapak tangannya.

  1. Jika seorang wanita suci dari haidh pada waktu Ashar atau Isya', apakah dia juga harus shlaat Zhuhur (bersama shalat Ashar) dan shalat maghrib (bersama shalat Isya'), dengan dasar bahwa masing-masing shalat tersebut dapat di jama'?
J: Jika seorang wanita suci dari haidh atau nifas pada waktu ashar maka dia wajib melakukan shalat zhuhur dan ashar sekalian menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, karena waktu kedua shalat tersebut pada saat terhalang adalah satu seperti bagi musafir atau orang sakit dan si wanita (haidh) tersebut ma'zur (berhalangan) karena belum datangnya masa suci, demikian juga jika dia suci pada waktu Isya' maka wajib baginya shalat maghrib dan Isya' dengan jama' sebagaimana yang terdahulu, dan untuk hal ini sejumlah shahabat telah memfatwakannya.

  1. Apa hukumnya shalat di masjid jika di dalamnya terdapat kuburan atau di halamannya atau di kiblatnya ?
J: Jika di dalam masjid terdapat kuburan, maka shalat di dalamnya tidak sah, sama saja apakah kuburannya berada dibelakang orang yang shalat atau di depannya atau disebelah kanannya atau kirinya, berdasarkan hadits nabi : "Allah melaknat orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan para nabinya sebagai masjid". (mutafaq alaih). Juga berdasarkan hadits: "Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kamu telah menjadikan kuburan para nabinya dan orang-orang shaleh sebagai masjid, ketahuilah janganlah kalian menjadikan masjid sebagai kuburan. Sesungguhnya aku melarang yang demikian itu". (HR. Muslim dalam as shahih).
Dan karena shalat di masjid yang terdapat kuburanyna akan menjadi sarana kesyirikan dan ghuluw (pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap seseorang) maka wajib mencegah hal seperti itu berdasarian kedua hadits yang telah disebutkan dan riwayat yang lainnya yang senada serta sadduzzari'ah (mencegah terjadinya kemunkaran) terhadap syirik.

  1. Banyak pekerja yang mengakhirkan shalat zuhur dan ashar hingga malam hari dengan alasan mereka sibuk dengan pekerjaannya atau baju mereka najis atau tidak bersih, bagaimana pendapat anda ?
J: Tidak boleh bagi setiap muslim dan muslimah mengabaikan shalat fardhu dari waktunya, justru wajib bagai mereka melaksanakannya sesuai dengan waktunya berdasarkan kemampuannya.
            Dan pekerjaan bukanlah halangan untuk meninggalkan shalat, begitu juga baju yang najis atau kotor bukanlah halangan.
            Waktu-waktu (pelaksanaan) shalat hendaklah disisihkan dari pekerjaan, bagi seorang pekerja pada waktu tersebut dapat mencuci bajunya yang kena najis atau menggantinya dengan baju yang suci. Adapun pakaian yang kotor tidak mengapa dipakai untuk shalat jika kotornya itu bukan terdiri dari najjis atau terdapat bau yang tidak sedap sehingga mengganggu orang lain yang sedang shalat. Jika kotorannya itu mengganggu orang lain yang shalat baik karena dirinya atau karena baunya, maka wajib baginya untuk mencucinya sebelum shalat atau menggantinya dengan baju yang bersih sehingga dia dapat melakukan shalat berjamaah.
Boleh bagi orang yang berhalangan secara syar'i –seperti orang sakit atau musafir- untuk menggabung (jama') shalat zuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya' di salah satu waktu keduanya. Sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai hal itu dari Rasulallah , demikian juga boleh menjama' pada saat hukan dan berlumpur yang memberatkan manusia.

  1. Jika seorang mendapatkan najis pada bajunya setelah mengucapkan salam dari shalatnya, apakah ia harus mengulangi shalatnya ?
J: Siapa yang shalat sementara di badannya atau bajunya terdapat najis sedangkan ia tidak mengetahuinya kecuali setelah shalat, maka shalatnya shah menurut salah satu pendapat terkuat diantara dua pendapat ulama, begitu juga jika ia telah mengetahuinya terlebih dahulu kemudian lupa saat pelaksanaan shalat dan baru ingat setelah selesai melaksanakan shalat, maka shalatnya sah. Berdasarkan firman Allah : "Ya Tuhan kami janganlah Engkau hokum kami jika kami lupa atau kami bersalah". Qs.al Baqarah:287.
Begitu juga terdapat riwayat yang shahih dari Rasulallah bahwa saat beliau shalat suatu hari terdapat pada sandalnya kotoran, kemudian malaikat Jibril memberitahukan hal itu, maka beliau melepas sandal tersebut lalu meneruskan shalatnya dan tidak mengulanginya dari awal. Dan hal itu termasuk kemudahan dan rahmat dari Allah kepada hambaNya.
Adapun jika seseorang shalat sedangkan dia lupa bahwa dirinya memiliki najis, maka dia harus mengulangi shalatnya berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagaimana hadits Rasulallah : "Tidak diterima shalat seseorang tanpa bersuci dan shadaqah yang berasal dari barang tipuan". (HR. Muslim dalam shahihnya). Dan berdasarkan hadits Rasulallah : "Tidak diterima shalat salah seorang diantara kamu jika dia memiliki hadats sampai dia berwudhu". (mutafaq alaih).

  1. Banyak orang yang melalaikan shalat, bahkan sebagian dari mereka telah meninggalkan shalat secara total, apakah hukum terhadap mereka itu? Dan apakah kewajiban seorang muslim  terhadap mereka, terutama kerabatnya, seperti orang tuanya, anaknya, istrinya, dan semisalnya?
J: Melalaikan shalat merupakan kemungkaran yang besar dan termasuk sifat dari orang-orang munafik, sebagaimana firman Allah : "Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali". (qs.an Nisa:142).
Allah menerangkan sifat-sifat mereka: "Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir terhadap Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat melainka dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan". (qs. at Taubah:54)
Rasulallah bersabda: "Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya' dan shalat Fajar (shubuh) dan seandainya mereka mengetahui apa yang terkandung didalamnya niscaya mereka akan mendatanginya (untuk melakukan kedua shalat tersebut) walaupun dengan cara merangkak". (mutafaq alaih).
Maka merupakan kewajiban setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan untuk menjafa shalatnya yang lima waktu dan melakukannya dengan thuma'ninah (tenang), bersegera kepadanya dan khusyu' saat melakukannya.
Allah berfirman: "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya". (qs. Al Mu'minun:1-2)
Begitu juga terdapat riwayat yang kuat dari Rasulallah bahwa dia memerintahkan seorang untuk mengulanginya yang keliru karena tidak thuma'ninah. Khusus bagi kaum laki-laki agar memelihara shalat berjamaah, bersama saudara-saudarnya di rumah-rumah Allah yaitu masjid, berdasarkan hadits Rasulallah : "Siapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak datang (untuk melakukan shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan". (HR. Ibnu Majah, Daruqutni, Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad yang shahih).
Ibnu Abbas ditanya tentang halangan apa yang dimaksut, dia menjawab: "takut dan sakit".
Dan dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah dari Rasulallah bahwa datang kepadanya seorang laki-laki yang buta seraya berkata: "wahai Rasulallah, tidak ada yang menuntunku ke masjid, apakah ada keringanan bagiku untuk shalat di rumahku ? maka Rasulallah memberinya keringanan, tapi kemudian beliau memanggilnya dan bertanya: "apakah engkau mendengar seruan (adzan) untuk shalat ? dia menjawab "Ya", beliau bersabda: "sambutlah (dengan pergi ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah)".
Dalam as shahihain dari Abu Hurairah , Rasulallah bersabda: "Aku sungguh ingin sekali memerintahkan agar shalat dilaksanakan, kemudian ada seorang yang menjadi imam, sementara aku bersama beberapa orang berangkat dengan membawa seikat kayu baker dan mendatangi sekelompok kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah) lalu aku membakar rumah-rumah mereka".
Beberapa hadits yang shahih tersebut menunjukkan bahwa shalat berjamaah bagi kaum laki-laki merupakan kewajiban yang paling besar dan bagi yang meninggalkannya layak untuk mendapatkan hukuman yang berat. Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya dan memberi mereka taufik atas segala apa yang  diridhoiNya.
Adapun meninggalkannya sama sekali atau sebagian waktunya saja, maka menurut pendapat yang terkuat diantra dua pendapat ulama, hal itu merupakan kekufuran yan besar baik pria maupun wanita, walaupun pelakunya tidak mengingkari kewajibannya, berdasarkan hadits Rasulallah : "antara seseorang dan kekufuran serta kemusyrikan adalah meninggalkan shalat". (HR. Muslim dalam shahihnya).
"janji antara kita dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir". (HR. Imam Ahmad dan ahlussunan yang empat dengan sanad shahih). Dan masih banyak lagi hadits yang serupa.
Adapun orang mengingkari kewajibannya baik laki-laki maupun wanita, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan kekufuran yang besar berdasarkan kesepakatan para ulama, walaupundia melakukan shalat. Semoga Allah  melindungi kita dan semua kaum muslimin dari hal tersebut, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung.
Merupakan kewajiban kaum muslimn seluruhnya untuk saling menasihati dan memberi wasiat dalam kebenaran dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, diantaranya adalah menasihati orang yang tidak shalat berjamaah atau menyepelekannya, sehingga sewaktu-waktu meninggalkan. Mengingatkannya aka kemurkaanNya dan hukumanNya. Dan kewajiban kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan kaum kerabatnya untuk menasihatinya secara terus menerus sehingga dia mendapatkan hidayah dari Allah dan istiqamah di jalanNya. Demikian juga halnya bagi wanita yang menyepelekan shalat atau meninggalkannya, wajib untuk menasihatinya secara kontinyu dan memperingatinya akan kemurkaan Allah serta hukumanNya serta mengucilkannya jika dia tidak mengindahkannya padahal dia mampu melakukannya, dan menghukumnya dengan cara yang layak. Karena semua itu adalah termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan amar ma'ruf nahi munkar yang Allah wajibkan bagi semua hambaNya, baik laki-laki maupun wanita, berdasarkan firman Allah : "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya, mereka itu akan diberikan rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi maha Bijaksana". (qs. At Taubah:71).
Juga berdasarkan hadits Rasulallah : "Perintahkanlah anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak melakukan shalat) pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka".
Jika anak-anak pada usia tujuh tahun sudah diperintahkan shalat dan boleh dipukul jika tidak melaksanakannya pada usia sepuluh tahun,maka orang yang sudah baligh lebih utama untuk diperintahkan shalat dan dipukul jika tidak melaksanakannya setelah dinasihati secara terus menerus.
Adapun saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah berdasarkan firman Allah : "Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan yang saling menasihati dalam kesabaran". (qs. Al 'Ashr:1-3).
Dan siapa yang meninggalkan shalat setelah masa baligh serta tidak menerima nasihat, maka perkaranya dibawa ke pengadilan syar'i, agar diperintahkan untuk bertaubat, jika tidak bertaubat maka dihukum mati. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberikan kepada mereka pemahaman terhadap agamanya dan menuntun mereka untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta amar ma'ruf nahi munkar dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, sesungguhnya Dia maha Pemberi lagi maha Mulia.

  1. Seseorang mengalami kecelakaan kendaraan atau semisalnya sehingga ia geger otak atau tidak sadarkan diri dalam beberapa hari, apakah wajib untuk orang seperti mereka mengqadha shalatnya jika sadar ?
J: Jika masanya sebentar seperti tiga hari atau lebih wajib baginya mengqadha shalatnya, karena pingsan dalam masa seperti itu menyerupai tidur yang tidak menggugurkan qadha dan telah diriwayatkan dari sejumlah shahabat bahwa mereka mengalami pingsan yang kurang dari tiga hari, maka mereka mengqadha (shalatnya).
Adapun jika masanya melebihi tiga hari, maka tidak wajib baginya mengqadha, berdasarkan hadits Rasulallah : "Al Qalam di angkat atas tiga perkara: dari orang yang tertidur hingga dia bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga ia sadar".
Adapun orang yang pingsan dalam waktu yang lama menyerupai orang gila dalam hal hilang akalnyal. Wallahu waliyuttaufiq.

  1. Banyak orang yang sakit menganggap remeh terhadap shalatnya dan berkata: jika aku sembuh aku akan mengqadha shalat, sementara sebagian lagi berkata: bagaimana saya dapat shalat sedangkan saya tidak dapat bersuci dan membersihkannya dari najis, bagaimana sebaiknya kita mengarahkan mereka ?
J: Selama akal masih berfungsi, sakit bukanlah halangan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat hanya karena alasan tidak dapat bersuci. Maka tetap merupakan kewajiban bagi orang sakit untuk shalat sesuai dengan kemampuannya dan bersuci dengan air jika dia mampu untuk itu, jika dia tidak mampu dia tidak mampu menggunakan aair maka hendaknya ia tayamum dan shalat. Dia juga harus menghilangkan najis yang terdapat di bajunya atau badannya dan mengganti baju yang terdapat najisdengan baju yang suci dari najis pada saat melakukan shalat, jika dia tidak mampu untuk mencuci najis atau mengganti yang terkena najis dengan baju yang suci, maka gugur baginya semua kewajiban-kewajiban itu, maka dia dapat melakukan shalat sebagaimana adanya, berdasarkan firman Allah : "Bertakwalah semampu kalian". (qs. At Taghabun:15)
"Jika aku memerintahkan sesuatu perkara, maka patuhilah semampu kalian". (mutafaq alaih). Juga hadits Rasulallah kepada Umran bin Husain -tatakala dia mengadukan tentang penyakitnya, "Shalatlah kamu dengan berdiri,jika tidak mampu, maka duduklah, jika tidak mampu, maka hendaklah berbaring". (HR. Bukhari dalam shahihnya dan riwaya an Nasai dengan sanad shahih dengan tambahan : "jika tidak mampu maka berbaringlah".

  1. Orang yang meninggalkan shalatnya dengan sengaja, baik untuk satu waktu atau lebih, kemudian mendapatkan taufiq dari Allah dan bertaubat, apakah dia mengqada shalat yang ditinggalkannya tersebut ?
J: Dia tidak diharuskan mengqhada apa yang dia tinggalkan dengan sengaja menurut pendapat yang paling kuat diantara dua pendapat ulama, karena meninggalkan shalat dengan sengaja membuatnya keluar dari wilayah Islam dan menjadikannya kelompok orang-orang kafir. Dan orang kafir tidak diwajibkan mengqadha shalat yang dia tinggalkan saat dia kufur, berdasarkan hadits Rasulallah : "antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat". (HR. Muslim dalam shahihnya dari Jabir nin Abdullah ).
"Janji antara kita dengan mereka adalah shalat, maka siapa yang meninggalkannya dia telah kafir". (HR. Imam Ahmad dan ahlussunan dengan sanad yang shahih dari Buraidha bin al Hushaib ).
Begitu juga Rasulallah tidak memerintahkan orang-orang kafir yang masuk Islam untuk mengqadha shalatnya yang mereka tinggalkan, begitu juga dengan shahabat mereka tidak memerintahkan orang-orang murtad yang kembali masuk Islam untuk mengqadha shalatnya. Akan tetapi jika seseorang mengqadha shalat yang ditinggalkan dengan sengaja tetapi dia tidak mengingkari wajibnya shalat, maka tidaklah mengapa sebagai langkah kehati-hatian (ikhtiar) dan untuk keluar dari khilaf dengan mereka yang berkata: "tidak kafir karena meninggalkan shalat dengan sengaja jika tidak mengingkari kewajibannya" dan mereka adalah mayoritas para ulama. Wallahu waliyuttaufiq.

  1. Sebagian orang ada yang berkata, jika azan tidak dilaksanakan pada awal waktu, maka tidak perlu lagi azan, karena fungsi adzan adalah untuk memberitahu akan masuknya waktu shalat, bagaimana pendapat anda yang mulia dalam masalah ini, dan apakah azan tetap disyariatkan bagi orang yang sendirian ditengah padang pasir?
J: Jika azan tidak dilakukan pada awal waktu, maka tidak disyariatkan untuk azan lagi sesudahnya jika di daerah tersebut ada mu'azin lainnya yang telah melakukanya. Adapun jika terlambatnya sebentar saja, maka tidak mengapa untuk melaksankan azan.
Adapun jika dalam suatu daerah tidak ada mu'azin selainnya, maka dia harus melakukan azan meskipun sudah terlambat beberapa saat. Karena dalam masalah ini azan adalah fardhu kifayan, jika tidak ada orang lain yang melakukannya. Maka wajib baginya untuk melakukan hal itu dan dia bertanggung jawab, karena orang-orang menantikannya.
Sedangkan bagi orang yang bepergian, maka disyariatkan baginya azan meskiun Cuma sendirian. Sebagaimana terdapat hadits shahih dari Abu Sa'id , saat dia berkata kepada seseorang: "Jika engkau berada saat menggembala kambing atau di tempat sepi, maka angkatlah suara kalian untuk melakukan azan karena siapa saha yang mendengar azan baik jin maupun manusia atau apa saja, mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat". (ucapan tersebut disambungkan kepada Rasulallah . Begitu juga hanya dengan hadits-hadits yang lainnya yang secara umum berbicara tentang disyariatkannya azan dan keutamaannya.

  1. Apakah wajib bagi wanita untuk melakukan azan dan iqama, baik dalam keadaan tidak bepergian seorang diri atau di tanah lapang bersama-sama ?
J: Tidak disyariatkan bagi wanita untuk melakukan aan dan iqamah, baik dalam keadaan menetap atau bepergian, sesungguhnya azan dan iqamah hanyalah untuk kaum laki-laki. Hal tersebut telah dinyatakan dalam beberapa hadits shahih dari Rasulallah .

  1. Jika seseorang lupa untuk melakukan iqamah dan kemudian melakukan shalat, apakah hal tersebut akan berpengaruh pada hukum shalatnya baik, dia dalam keadaan sendiri atau bersama jama'ah ?
J: Jika seseorang shalat sendirian atau berjamaah tanpa melakukan iqamah (sebelumnya), maka shalatnya tetap sah, dan bagi mereka yang melakukannya hendaknya bertaubat kepada Allah .
Begitu juga halnya jika mereka shalat tanpa melakukan azan, maka shalatnya sah, karena azan dan iqamah termasuk fardhu kifayah dan keduanya diluar ketentuan-ketentuan shalat.
Dan bagi siapa yang meninggalkan azan dan iqamah hendaknya bertaubat kepada Allah atas perbuatannya itu, karena fardhu kifayah jika semua orang meninggalkannya maka seluruhnya akan berdosa, akan tetapi jika sebagiannya melaksanakannya maka gugurlah kewajiban dan dosa bagi yang lainnya, baik dalam keadaan menetap atau sedang bepergian, baik di desa atau kota atau pedalaman. Semoga Allah memberi taufik kepada seluruh kaum muslimin atas apa saja yang diridhoiNya.

  1. Apakah dalilnya ucapan azan dalam shalat fajar "assholatu khoiru minan naum" dan apakah pendapat anda terhadap mereka yang mengucapkan "hayya 'ala khoiral 'amal", apakah terdapat dalilnya".
J: Terdapat riwayat yang kuat dari Rasulallah , bahwa beliau memerintahkan Bilal dan Abu Mahzurah tentang hal tersebut (yaitu ucapan الصلاة خير من النوم dalam shalat shubuh), sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas , bahwa belia berkata "merupakan sunnah dalam adzan shalat Fajar, seorang muadzin mengucapkan kalimat tersebut". Kalimat ini diucapkan dalam adzan yang dikumandangkan saat terbitnya fajar menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat para ulama dan dinamakan adzan pertama jika dikaitkan dengan iqamah, karena iqamah disebut juga adzan kedua, sebagaimana hadits Rasulallah بين كل أذاين الصلاة  ) diantara dua adzan terdapat shalat). Dan terdapat riwayat yang shahih diriwayatkan oleh Bukhari dari 'Aisyah yang menunjukkan hal tersebut.
Adapun ucapan sebagian kalangan Syi'ah dalam adzan  "حي على خير العمل" itu adalah bid'ah dan tidak terdapat dalilnya, dalam hadits-hadits yang shahih, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka dan kepada seluruh kaum muslimin uuntuk mengikuti sunnahnya dan menggenggamnya erat-erat, karena itu merupakan jalan keselamatan dan kebahafiaan bagi seluruh ummat.

  1. Terdapat riwayat bahwa Rasulallah mengumandangkan dalam shalat Kusuf (shalat gerhana) " الصلاة جامعة ", apakah hal tersebut diucapkan sekali saja atau disyariatkan berulang-ulang, berapakah batasan untuk mengulanginya?
J. Terdapat riwayat yang dari Rasulallah bahwa beliau memerintahkan untuk mengumandangkan dalam shalat Kusuf ucapan " الصلاة جامعة " disunnahkan bagi yang mengumandangkannya untuk mengulanginya sampai dia mengira bahwa orang-orang telah mendengarnya, dan tidak terdapat batasan jumlahnya sebagaimana yang kami ketahui. Semoga Allah memberikan taufikNya.

TATA CARA SHALAT

  1. Banyak saudara-saudara kita yang sangat ketat dalam masalah sutrah (pembatas shalat), sampai mereka menunggu adanya sutrah jika tidak terdapat tiang lowong (dari orang yang shalat) yang terdapat dalam masjid, mereka juga menyalahkan orang-orang yang shalat tanpa sutrah, sementara sebagian yang lainnya menganggap remeh perkara ini. Manakah yang benar dlaam masalah ini, apakah garis dapat dijadikan sutrah jika tidak terdapat yang lain? Adakah dalilnya ?
J. Sutrah dalam shalat merupakan sunnah mu'akkadah dan bukan kewajiban dan jika tidak terdapat sesuatu yang tegak, maka garis dapat menjadi penggantinya. Dalil dari apa kami ucapkan adalah hadits Rasulallah : "Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka hendaklah ia shalat dengan sutrah dan mendekat kepadanya". (HR. Abu Daud dengan sanad yang shahih).
Dan terdapat juga riwayat dari Rasulallah : "Jika dihadapan seseorang tidak terdapat sejenis ujung pelana (sebagai sutrah), maka shalatnya akan terputus oleh: wanita, keledai dan anjing hitam". (HR. Muslim dalam shahihnya).
Juga hadits Rasulallah : "Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka hendaklah menjadikan sesuatu berada dihadapannya, jika tidak ada maka tancapkanlah tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis, kemudian setelah itu tidak akan mengurangi (shalatnya) jika ada yang lewat didepannya". (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih).
Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Bulughul Maram; Terdapat riwayat dari Rasulallah bahwa beliau shalat kadang-kadang tidak menggunakan sutrah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa masalah ini bukanlah merupakan  kewajiban. Dikecualikan dalam masalah ini jika shalat di Masjidil Haram, maka bagi yang shalat tidak perlu menggunakan sutrah, sebagaimana riwayat Ibnu Zubair , bahwa dia shalat di Masjidil Haram tanpa menggunakan sutrah, sedangkan orang-orang thawaf berada didepannya, begitu juga terdapat riwayat yang disandarkan kepada Rasulallah yang menunjukkan hal tersebut akan tetapi dengan sanad yang lemah.
Alasan lainnya adalah karena Masjidil Haram merupakan tempat yang selalu penuh sesak dan tidak mungkin menghindari lalu lalangnya orang di depan orang shalat. Maka gugurlah syari'at sutrah sebagaimana yang telah disebutkan, hal serupa juga berlaku bagi Masjid Nabawi pada saat penuh sesak. Demikian juga tempat yang lainnya jika penuh sesak berdasarkan firman Allah :  "maka bertakwalah kalian semampu kalian".Qs. At Taghabun:16). Juga berdasarkan hadits Rasulallah : "Jika aku memerintahkan kalian, maka lakukanlah semampu kalian". (mutafaq alaihi)

  1. Kami menyaksikan banyak orang yang meletakkan tangannya dibawah pusatnya dan sebagian yang lainnya diatas dadanya dan mereka mengingkarinya dengan sangat bagi orang yang meletakkan tangannya dibawah pusatnya. Sementara yang lainnya meletakkan dibawah janggutnya, dan sebagian lainnya menjulurkan tangannya. Manakah yang benar ?
J. Sunnah yang shahih menunjukkan bahwa yang paling utama bagi orang yang shlaat saat dia berdiri meletakkan telapak tangan kanannya diatas tangan  kirinya diatas dadanya sebelum ruku' dan sesudahnya. Terdapat riwayat dalam hadits Wa'il bin Hajar dan Qubaishah nin Halab at Thai' dari bapaknya, begitu juga terdapat riwayat dalaqm hadits Sahl bin Sa'ad as Sa'diy . Adapun meletakkan kedua tangan dibawah pusat terdapat dalam hadits dha'if dari Ali , sedangkan menjulurkannya atau meletakkannya dibawah janggut bertentangan dengan sunnah. Wallahu waliuttaufiq.

  1. Banyak saudara kita yang sangat mengutamakan "Jalsah Istirahah" (duduk istirahat antara bangun dari sujud dan berdiri), dan menentang siapa saja yang meninggalkannya. Apakah disyari'atkan bagi imam dan ma'mum juga bagi orang yang shalat sendirian ?
J. Duduk istirahat disunnahkan bagi imam dan ma'mum dan orang shalat sendirian, bentuk seperti duduk diantara dua sujud, yaitu duduk dengan sebentar dan tidak terdpaat didalamnya zikir dan do'adalah dan siapa saja yang meninggalkannya tidaklah mengapa.
Hadits-hadits yang berbicara dalam masalah ini shahih dari Rasulallah , seperti Humaid as Sa'diy dan beberapa orang shahabat . Wallahu waliuttaufiq.

  1. Bagaimana seorang muslim melakukan shlaat dalam pesawat, apakah lebih utama baginya untuk shalat di pesawat pada awal waktu atau menunggu sampai pesawat mendarat pada akhir waktu ?
J. Wajib bagi setiap muslim dan muslimah yang berada dalam pesawat untuk melakukan shalat semampunya, jika mungkin baginya untuk shalat dalam keadaan berdiri dan dapat melakukan ruku' dan sujuk maka dia harus melakukannya. Jika tidak terdapat tempat untuk berdiri, dia bisa melakukannya sambil duduk dan memberi isyarat  untuk  ruku' dan sujud. Jika dia mendapatkan tempat shalat dengan berdiri maka wajib baginya shalat sambil berdiri. Berdasarkan firman Allah , "Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian". (Qs. At Taghabun:16).
Dan berdasarkan hadits Rasulallah kepada Umran bin Husain yang sakit: "Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu duduklah, jika tidak mampu maka berbaringlah". (HR. Bukhari dalam shahihnya dari an Nasai dengan sanad yang shahih dan dengan tambahan: "Jika tidak mampu maka berbaringlah". Yang paling utama baginya adalah shalat diawal waktu, jika dia tunda hingga akhir waktu supaya dapat shalat setelah mendarat, maka tidaklah mengapa berdasarkan umumnya dalil.
Sedangkan hukumnya (shalat) dalam kendaraan, kereta api dan kapal laut, sama seperti pesawat.

  1. Banyak orang yang melakukan gerakan dan perbuatan yang tidak berguna dalam shalat. Apakah ada batas tertentu bagi gerakan yang membatalkan shalat ? apakah batasan gerakan tiga kali berturut-turut ada dalilnya ? apa nasehat anda kepada mereka yang banyak melakukan gerakan dan perbuatan tak berguna tersebut ?
J. Wajib bagi seorang mu'min dan mu'minah untuk tenang dalam shalatnya dan meninggalkan perbuatan yang sia-sia, karena thuma'ninah (tnangn dalam shlaat) merupakan rukun dlaam shalat sebagaimana terdapat riwayat dari Rasulallah , bahwa beliau memerintahkan orang yang tidak thuma'ninah dalam shalatnya untuk mengulanginya. Disyariatkan bagi muslimin untuk khusyu' dalam shalatnya dan menghadirkan hati di hadapan Allah , berdasarkan firmanNya: "Beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya". (qs. Al Mu'minun:1-2).
            Dimakruhkan untuk melakukan perbuatan tak berguna, baik dengan bajunya, janggutnya atau lainnya, dan jika gerakannya banyak dan berturut-turut maka –berdasarkan yang kami ketahui dari syari'at yang suci- hal tersebut diharamkan dan membatalkan shlaat.
            Tidak terdapat batasan tertentu dalam masalah ini, dan adanya pendapat yang membatasinya hanya tiga kali gerakan saja adalah pendapat yang lemah dan tidak memiliki dalil. Sebuah gerakan dapat dikatakan banyak dan sia-sia adalah berdasarkan keyakinan orang yang shalat, jika seorang yang shalat berkeyakinan bahwa dia melakukan gerakan yang banyak dan sia-sia secara terus menerus, maka dia harus mengulangi shalatnya jika shalatnya tersebut shalat fardhu, dan dia harus bertaubat dari perbuatannya itu. Dan bagi setiap muslim dan muslimah hendaknya memperhatikan shalatnya agar khusyu' di dalamnya serta meninggalkan pernuatan yang sia-sia walaupun cuma sedikit, karena shalat merupakan perkara yang besar dan merupakan tiang Islam serta rukunnya serta rukunnya yang paling besar setelah syahadatain dan merupakan perbuatan yang pertama kali dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat. Semoga Allah swt memberi petunjuk bagi seluruh kaum muslimin agar dapat melaksanakan shalat sebagaimana yang diridhaiNya.

  1. Apakah yang lebih utama meletakkan kedua tangan lurus sebelum kedua tangan saat hendak melakukan sujud atau sebaliknya yang utama ? bagaimanakah menggabungkan antara kedua hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut ?
J. Sunnah bagi orang yang shlat jjika hendak sujud –menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama- meletakkan terlebih dahulu kedua lututnya sebelum kedua tangannya jika dia mampu untuk itu, dan itu merupakan pendapat jumhur, berdasarkan hadits Wa'il bin Hujr ra, dan hadits-hadits senada lainnya.
Sedangkan hadits Abu Hurairah ra, pada hakekatnya tidaklah bertentangan dengan hadits diatas bahkan mendukungnya karena Nabi saw, dalam hadits tersebut melarang orang yang shalat untuk sujud sebagaimana onta yang hendak duduk, dan umum diketahui bahwa siapa yang sujud dengan mendahulukan tangannya maka dia menyerupai onta. Adapun ucapannya diakhir: "Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum lututnya". Maka pemahaman yang paling dekat adalah terjadinya inqilab (terbalik) dalam riwayat hadits dikalangan para perawi, yang benar adalah: "Hendaklah dia meletakkan kedua lututnya sebelum tangannya". Dengan demikian hadits-hadits ada yang dapat dikompromikan dan pertentangan dapat dihilangkan. Masalah ini telah disinggung oleh Ibnu Qayyim –rahimahullah- dalam kitabnya Zaadul Ma'ad.
Sedangkan orang yang lemah untuk mendahulukan kedua lututnya karena sakit atau sudah lanjut usia, maka tidak mengapa baginya untuk mendahulukan kedua tangannya dari kedua lututnya. Berdasarkan firman Allah swt, "Bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian". (qs.at Taghabun:16), dan berdasarkan hadits Rasulallah saw, "Apa yang aku larang maka jauhilah dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah semampu kalian". (Mutafaq alaihi)

  1. Apa pendapat anda tentang berdehem ( نحنحة ) dalam shalat, meniup dan menangis, apakah semua hal tersebut membatalkan shalat ?
J. Berdehem, meniup dan menangis tidak membatalkan shalat dan tidak mengapa dilakukan jika ada tuntutan untuk itu karena Rasulallah saw berdehem ketika Ali ra, dating meminta izin saat dia sedang shalat.
Adapun menangis disyari'atkan dlaam shlaat begitu juga dalam hal lainnya jika sebabnya khusyu' dan mengingat Allah swt tanpa dilebih-lebihkan. Terdapat riwayat shahih dari Rasulallah saw bahwa dia menangis dalam shalatnya, begitu juga halnya Abu Bakar ash Shiddiq dan Umar Faruq Ra, serta shahabat yang lainnya dan para tabi'in sesudahnya.

  1. Apa hukumnya lewat didepan oran yang shalat, dan apakah Masjidil Haram berbeda dari yang lainnya dalam masalah ini dan apa maksudnya orang yang lewat didepan orang shalat disebut memotong shalat ? apakah dia harus mengulanginya jika misalnya yang lewat didepannya anjing hitam atau wanita atau keledai ?
J. Hukum lewat didepan orang shalat atau antara orang shalat dan sutrahnya adalah haram berdasarkan hadits Rasulallah saw, "Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat mengetahui apa hhukumannya, niscaya lebih baik baginya menunggu selama empat puluh (masa) daripada melewati orang yang shalat". (Mutafaq alaihi)
Hal tersebut juga dapat memotong shalat, yaitu membatalkannya jika yang lewat didepannya wanita baligh atau keledai atau anjing hitam.
Sedangkan jika yang lewat bukan tiga hal itu, maka tidaklah memotong shalat akan tetapi hanya berkurang pahalanya berdasarkan hadits Rasulallah saw, "Shalat seorang muslim akan terpotong jika didepannya tidak terdapat sejenis ujung pelana (sutrah) oleh: wanita, keledai dan anjing hitam". (Riwayat Muslim dalam shahihnya dari Hadits Abu Zar )
Terdapat juga hadits senada yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah , akan tetapi dengan menentukan anjing hitam. Maka yang mutlak (tidak ditentukan) diarahkan kepada muqayyad (yang ditentukan) menurut para ulama.
Sedangkan di Masjidil Haram tidak diharamkan untuk lewat di depan orang shalat, dan shalat seseorang tidak akan terpotong jika terlewati ketiga hal diatas atau yang lainnya. Karenanya didalamnya merupakan tempat yang selalu penuh sesak, sulit bagi seseorang untuk menghindar dari melewati di depan orang shalat. Terdapat riwayat hadits yang jelas dalam masalah ini yang walaupun dha'if akan tetap tertutupi oleh atsar dari Ibnu Zubair dan yang lainnya. Begitu juga halnya dengan masjid an Nabawi dan tempat lainnya jjika selalu penuh sesak dan sulit untuk menghindari agar tidak lewat didepan orang shalat berdasarkan firman Allah  : "Bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian". (qs. At Taghabun:16) dan firman Allah  : "Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya". (qs. Al Baqarah:186) dan juga berdasarkan hadits Rasulallah : "Apa yang aku larang hendaklah kalian menjauhinya dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka lakukanlah semampu kalian". (Mutafaq alaihi)

  1. Bagaimana pendapat anda tentang mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat ? apakah ada bedanya antara shalat fardhu dan shalat sunnah ?
J. Mengangkat kedua tangan dalam berdoa merupakan sunnah dan merupakan sebab dikabulkannya doa berdasarkan hadits Rasulallah : "Sesungguhnya Tuhanmu malu terhadap hambanya yang (berdoa) mengangkat kedua tangannya kemudian dibalasnya dengan hampa". (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Hakim dari hadits Salman al Farisi) dan berdasarkan hadits Rasulallah : "Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sebagaimana dia memerintahkan kepada para rasul sebagaimana firmannya: "Wahai orang-orang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang kami berikan kepada kalian da bersyukurlah kepada Allah jika kalian hanya beribadah kepadaNya (qs. Al Baqarah:172) dan Allah berfirman: "Wahai para rasul makanlah yang baik-baik dan berbuatlah dengan perbuatan yang shaleh, sesungguhnya Aku terhadap apa yang kalian lakukan maha mengetahui". (qs. Al Mu'minun:51) kemudian dia (Rasulallah ) menyebutkan seseorang yang tengah menempuh perjalanan dengan rambut kusut dan dekil mengangkat kedua belah tangannya ke langit seraya berkata: "Ya Rabbi, Ya Rabbi", sementara makanannya berasal dari barang yang haram dan minumannya berasal dari barang yang haram dan pakaiannya berasal dari barang yang haram dan diberi makan dari barang yang haram, maka bagaimana akan dikabulkan hal yang demikian itu". (HR. Muslim).
Akan tetapi mengangkat kedua tangan tidak disyari'atkan pada tempat-tempat yang pada zaman nabi beliau tidak mengangkat kedua tangannya. Maka mengangkat tangan tidak disyari'atkan setelah shalat lima waktu dan diantara dua sujud dan sebelum salam dari shalat dan saat khutbah Jum'at serta pada dua shalat Ied karena Rasulallah tidak mengangkat tangan pada tempat-tempat tersebut, sedangkan dia adalah teladan yang paling baik atas apa yang dia lakukan dan ditinggalkan, akan tetapi jika seseorang meminta turun hujan (istisqa) pada khutbah Jum'at atau khutbah kedua hari raya maka disyariatkan baginya untuk mengangkat kedua tangan sebagaimana yang dilakukan nabi .
Adapun pada shalat sunnah, saya tidak mengetahui adanya larangan untuk mengangkat kedua tangan setelahnya untuk berdoa sebagai pengamalan atas umumnya dalil akan tetapi yang utama tidak melakukannya secara terus menerus; karena hal tersebut tidak terdapat riwayatnya dari Rasulallah , seandainya dia melakukannya setiap selesai shalat  sunnah niscaya akan sampai kepada kita riwayatnya karena para shahabat telah meriwayatkan semua perkataan dan perbuatannya baik dalam keadaan musafir atau menetap dan semua keadaan Rasulallah , -semoga Allah meridhoi mereka semuanya.
Adapun hadits yang mashur dari nabi yang sabdanya: "Shalat adalah merendahkan diri dan menjaga kekhusyuan serta mengangkat kedua tangan sambil berkata: ya Rabbi, ya Rabbi". Itu adalah hadits dhaif sebagaimana yang dijelaskan oleh al Hafidz Ibnu Rajab dan lainnya.

  1. Kami mendengar ada yang berkata: makruh mengusap debu yang ada dikening setelah shalat. Apakah tersebut ada dalilnya?
J. Tidak terdapat dalil dalam masalah itu –sebagaimana yang kami ketahui- akan tetapi yang dimakruhkan adalah melakukan hal tersebut sebelum salam, karena terdapat riwayat dari Rasulallah bahwa beliau dalam beberapa kali shalatnya melakukan salam dalam shalat subuh yang pada malamnya turun hujan dan tampak diwajahnya bekas air dan tanah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa yang utama adalah tidak mengusapnya sebelum selesai salam.

  1. Apakah hukumnya saling berjabat tangan setelah selesai shalat, apakah ada bedanya antara shalat fardhu dan shalat sunnah ?
J. Saling berjabat tangan pada dasarnya disyari'atkan antara kaum muslimin saat saling berjumpa. Dan Rasulallah menjabat tangan para shahabatnya jika berjumpa dengan mereka, dan mereka saling berjabat tangan bila berjumpa. Anas dan Asy Sya'bi : "Adalah para shahabat Rasulallah jika mereka saling berjumpa mereka berjabat tangan dan jika mereka datang dari safar (bepergian) mereka saling berpelukan". Dan terdapat dalam ash shahihain bahwa Thalhah bin Ubaidillah –salah seorang yang mendapat khabar gembira masuk syurga- berdiri dari halaqah (perkumpulan) bersama nabi untuk menemui Ka'ab bin Malik tatkala taubatnya diterima Allah (dalam kisah tertinggalnya dia dalam perang Tabuk –pent.) maka dia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterimanya taubat, itu adalah riwayat yang mashur dikalangan kaum muslimun pada zaman nabi dan sesudahnya, begitu juga terdapat riwayat dari Rasulallah bahwa dia bersabda: "Tidaklah dua orang muslim yang saling berjumpa di masjid kecuali dosa keduanya gugur sebagaimana dedaunan yang berguguran dari pohonnya".
Disunnahkan untuk saling berjabat tangan saat berjumpa di masjid atau dalam barisan (shalat), jika tidak sempat berjabat tangan sebelumnya (sebelum shalat) maka dapat berjabat tangan setelahnya sebagai realisasi sunnah yang agung ini juga sebagai upaya untuk menumbuhkan kasih saying dan menghalau percekcokan.
Akan tetapi jika tidak sempat melakukannya sebelum shalat maka disyari'atkan melakukannya setelah shalat dan selesai melakukan dzikir yang disyari'atkan. Adapun yang dilakukan sebagian orang dengan segera berjabat tangan setelah salam dari shalat fardhu maka saya tidak mengetahui adanya dalil dalam masalah tersebut. Justru yang lebih jelas adalah makruhnya perbuatan tersebut dank arena orang yang shalat pada saat itu disyariatkan untuk segera berzikir yang telah disyariatkan sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah   setelah selesai shalat fardhu.Adapun dalam shalat sunnah mak disyariatkan untuk saling berjabat tangan setelah salam jika belum sempat berjabat tangan sebelumnya, jika sudah melakukannya sebelumnya maka tidak perlu lagi melakukannya.

  1. Apakah terdapat riwayat yang menunjukkan sunnahnya merubah tempat untuk  melakukan hal yang sunnah setelah shalat ?
J. Sejauh yang  saya ketahui tidak terdapat hadist shahih untuk hal tesebut, akan tetapi Ibnu Umar radiallahuanhuma dan banyak para salaf ya ng melakukannya. Dalm hal ini masalahnya luwes.Alhamdulillah. Terdapat riwayat hadist dhaif pada Abu Daud Rahimahullah yang ditopang oleh perbuatan Ibnu Umar   dan salafusshalih lainnya yang mengerjakannya. Dalam hal ini maslaahnya luwes –al hamdulillah- terdapat riwayat hadits dhaif pada Abu Daud yang ditopang oleh perbuatan Ibnu Umar .

  1. Terdapat anjuran untuk mengucapkan: لا إله إلا الله وحده لا شريك له الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير  sebanyak sepuluh kali setelah shalat fajar dan shalat maghrib apakah terdapat riwayat shahih untuk masalah tersebut?
J. Terdapat beberapa hadits shahih dalam masalah ini, semuanya menunjukkan disyariatkannya zikir diatas setelah shalat maghrib dan shalat shubuh, yaitu dengan mengucapkan kalimat tersebut sebanyak sepuluh kali. Maka disyariatkan bagi setiap mukmin dan mu'minah untuk membiasakan-nya setiap selesai dari kedua shalat tersebut. Membacakannya setelah selesai membaca wirid yang biasa dibaca setelah selesai shalat lima waktu, yaitu: …….

Adapun jika dirinya menjadi imam maka disyariatkan untuk berbalik menghadap mukanya kepada jama'ah setelah mengucapkan istighfar tiga kali, untuk meneladani Nabi dan bagi imam saat berbalik dapat kekiri atau kekanan, karena Rasulallah melakukan keduanya.
Disunnahkan juga setelah shalat dan setelah melakukan zikir diatas uuntuk membaca: tasbih, tahmid dan takbir sebanyak 33 kali sehingga berjumlah 99 kali, maka dilengkapi hingga seratus dengan membaca:  لا إله إلا الله وحده لا شريك له به الملك وله الحمد وهو على كل شيئ قدير karenan terdapat riwayhat yang shahih dari Nabi anjuran untuk maslah tersebut dengan penjelasan bahwa ha tersebut merupakan salah satu sebab turunnya ampunan.
Disyariatkan juga bagi orang yang shalat setelah selesai shalat lima waktu untuk membaca ayat kursi setelah zikir-zikir yang disebutkan diatas dan juga membaca surat al Ikhlas, al Falaq dan an Naas, dan disunnahkan untuk membaca ketiga surat ini sebanyak tiga kali berdasarkan riwayat yang shahih dalam masalah tersebut.

SHALAT BERJAMAAH DAN PERSOALAN IMAM DAN MA'MUM

  1. Banyak dikalangan muslim saat ini dan bahkan kalangan terpelajarnya yang meremehkan shalat berjamaah dengan alasan bahwa ada sebagian ulama yang tidak mewajibkannya. Apakah hukumnya shalat berjamaah dan apa nasehat anda terhadap mereka ?
J. Shalat berjamaah bersama kaum muslimin di masjid bagi orang laki-laki yang mampu menghadirinya (melakukannya) dan mendengar adzan tidak diragukan lagi wajib hukumnya menurut pendapat yang paling shahih diantara beberapa pendapat para ulama. Berdasarkan hadits Rasulallah : "Barangsiapa yang mendengar adzan dan tidak mendatanginya maka tidak ada shalat bagina kecuali karena ada udzur". (HR. Ibnu Majah, Daruqutni, Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad yang shahih). Ibnu Abbas saat ditanya tentang udzur apa yang dimaksud, maka dia menjawab: "ketakutan dari sakit". Dan dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah dari Rasulallah , bahwa datang kepadanya seorang buta, lalu berkata: "Wahai Rasulallah tidak ada orang yang menuntunku ke masjid, apakah bagiku terdapat keringanan untuk shalat dirumahku ? maka Rasulallah berkata kepadanya: "apakah engkau mendengar adzan?" dia berkata: "ya", beliau bersabda: "Maka sambutlah (dengan mendatanginya shalat berjamaah dimasjid).
            Terdapat juga dalam as shahihain dari Abu Hurairah dari Rasulallah , dia bersabda:
"Sungguh aku ingin sekali memerintahkan orang-orang untuk shalat. Kemudian aku pergi bersama sejumlah orang dengan membawa seikat kayu baker kepada satu kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah) maka aku baker rumah-rumah mereka".
            Semua hadits-hadits diatas dan hadits lainnya yang senada menunjukkan wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi orang laki-laki dan adanya hukum,an berat bagio orang yang meninggalkannya, seandainya tidak wajib niscaya tidak akan mendapat hukuman seberat itu. Begitu juga halnya shalat dimasjid merupakan syiar Islam yang paling agung dan juga sarana untuk saling kenal sesama muslim dan menumbuhkan rasa kasih saying dan menghilangkan permusuhan sementara meninggalkannya menyerupai perbuatan orang munafik, maka hendaknya hal ini menjadi perhatian kita. Adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini bukanlah alasan untuk meninggalkan jamaah, karena setiap ucapan yang bertentangan dengan dalil syari wajib untuk disingkirkan dan tidak dijadikan pegangan, berdasarkan firman Allah : (qs. An Nisa:59, as Syura:10).
            Terdapat riwayat dalam shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud , dia berkata: "kami menyaksikan sendiri bahwa tidak ada yang meninggalkannya (shalat berjamaah) kecuali orang munafik atau orang sakit, dan bahkan kadang-kadang orang sakit tersebut tetap dibawa berjamaah dan dihimpit oleh dua orang hingga dapat berdiri dalam barisan".
            Tidak diragukan lagi bahwa riwayat diatas menunjukkan besarnya perhatian para shabat terhadap shlaat berjamaah di masjid hingga kadang-kadang mereka membawa orang yang sakit dan kemudian dihimpit oleh dua orang hingga dapat berdiri dalam barisan, hal tersebut menunjukkan perhatian mereka yang sangat terhadap shalat berjamaah. Semoga Allah meridhoi mereka semua.

  1. Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal bacaan ma'mum yang berada dibelakang imam, manakah yang benar? Apakah membaca al Fatihah wajib bagi ma'mum? Kapan ma'mum membacanya jika imam tidak melakukan saktah (berdiam sejanak) yang memungkinkan ma'mum membacanya? Apakah disyariatkan bagi imam untuk berdiam sejenak setelah membaca al Fatihah untuk memungkinkan bagi ma'mum membaca al Fatihah?
J. Yang benar adalah wajib membaca al Fatihah bagi ma'mum dalam semua shalat, baik yang bacaannya dikeraskan atau tidak berdasarkan hadits Rasulallah : "tidak ada shalat bagi siapa yang tidak membaca pembuka al kitab (al Fatihah)". (mutafaq alaihi)
Juga hadits Rasulallah , "tampaknya kalian membaca sesuatu dibelakang imam kalian?", kami berkata: Ya, beliau bersabda: "jangan kalian lakukan hal itu kecuali dengan (membaca) al Fatihah, karena tidak ada shalat bagi yang tidak membacanya". (HR. Imam Ahmad dengan sanad shahih).
Seharusnya dibaca pada saat imam terdiam sejenak (saktah) jika hal tersebut tidak dilakukan imam dia harus tetap membacanya walaupun imam sedang membaca surat, setelah itu dia mendengarkan imam.
Hal ini (membaca surat al Fatihah saat imam sedang membaca surat merupakan bentuk pengecualian dari umumnya dalil yang mewajibkan untuk diam dan mendengarkan bacaan imam, akan tetapi jika dia (ma'mum) lupa membacanya atau meninggalkannya karena tidak tahu atau berpendapat tidak wajib, maka tidaklah mengapa baginya dan cukup baginya bacaan imam menurut jumhur ulama. Begitu juga seandainya imam dalam keadaan ruku' maka dia dapat langsung ruku' bersamanya dan mendapatkan satu rakaat serta gugur kewajiban membaca al Fatihah karena tidak ada kesempatan baginya. Berdasarkan riwayat hadits Abi Bakrah ats Tsaqafiy, bahwa dia datang kepada Rasulallah yang sedang dalam keadaan ruku', maka serta merta dia ikut ruku' tanpa masuk kedalam barisan, maka tatkala Rasulallah salam, dia bersabda, "semoga Allah menambahkan kesungguhanmu, akan tetapi jangan ulangi". (HR. Bukhari dalam shahihnya) dan beliau tidak memerintahkannya uuntuk menggatikan rakaat tersebut. Sedangkan makna hadits "jangan ulangi" maksudnya jangan mengulangi untuk melakukan ruku' sebelum masuk kedalam barisan shalat, dengan demikian dapat dipahami bahwa bagi siapa yang masuk masjid sedangkan imam dalam keadaan ruku', maka hendaknya dia tidak ruku' kecuali setelah masuk kedalam barisan shalat meskipun resikonya dia tidak mendapatkan ruku', berdasarkan hadits Rasulallah : "Jika kalian mendatangi shalat maka jalanlah kalian dengan tenang, apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang tertinggal maka sempurnakanlah". (HR. Mutafaq alaihi).
Adapun hadits : "Siapa yang memiliki imam maka bacaannya (imam) adalah bacaannya (ma'mum)", adalah hadits dhaif (lemah) yang tidak dijadikan dalil dikalangan ulama,  seandainya shahih, maka (membaca ) al Fatihah merupakan pengecualian sebagai kompromi antara beberapa hadits.
Adapun saktah (berhenti sejenak) setelah al Fatihah, tidak terdapat riwayat shahih tentan hal tersebut sedikitpun sebagaimana yang saya pahami, akan tetapi masalahnya fleksibel insya Allah dan siapa yang melakukannya tidak mengapa, karena tidak terdapat riwayat sedikitpun tentang hal tersebut dari Rasalallah , yang ada hanyalah dua saktah. Pertama saktah setelah Takbiratul Ihram yang disyariatkan didalamnya membaca istiftah, dan yang kedua, setelah selesai membaca surat dan sebelum ruku' yaitu berdiam sebentar sebagai penyela antara surat dan takbir. Wallahu waliyuttaufiq.

  1. Terdapat hadits shahih yang melarang untuk mendatangi masjid bagi siapa yang memakan bawang merah dan bawang putih atau daun bawang. Apakah termasuk didalamnya apa saja yang menyebabkan bau tidak sedap seperti rokok? Apakah itu artinya bahwa bagi siapa saja yang mengkonsumsinya terdapat alasan untuk tidak shalat berjamaah dan tidak berdosa karenanya?
J. Terdapat riwayat yang tsabit dari Rasulallah , beliau bersabda: "Siapa yang memakan bawang merah atau bawang putih maka hendaknya jangan mendekati masjid kami, hendaklah dia shalat di rumahnya". Dan sabda beliau : "Sesungguhnya Malaikat merasa terganggu sebagaimana manusia merasa terganggu".
Apa saja yang mendaatangka bau yang tidak sedap, maka hukumnya seperti hukum bawang,  seperti mengisap rokok, begitu juga bagi siapa yang memiliki bau tidak sedap pada ketiaknya atau lainnya yang dapat mengganggu orang disekelilingnya, maka dimakruhkan baginya shalat berjamaah hingga dia menggunakan sesuatau untuk dapat menghilangkan bau tersebut, dan wajib baginya untuk menghilangkan bau tersebut selagi dia mampu agar dapat menunaikan apa yang Allah wajibkan kepadanya berupa shalat berjamaah.
Adapun rokok, maka hukumnya haram secara mutlak, wajib baginya untuk meninggalkannya dalam semua kesempatan karena banyaknya mudharat yang terdapat didalamnya, baik terhadap agama, fisik, dan harta. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan menunjukkan kepada setiap kebaikan.

  1. Apakah shaf (barisan) dimulai dari kanan atau dari belakang imam? Dan apakah disyariatkan untuk menyeimbangkan sisi kanan dan kiri, sehingga banyak imam yang mengatakan: seimbangkanlah barisan?
J. Barisan dimulai dari tengah setelah imam dan sisi kanan imam lebih utama dari kirinya, seharusnya tidak memulai shaff baru kecuali shaff terdepan sudah penuh dan tidak mengapa jika dalam barisan sisi kanannya lebih banyak. Tidak perlu disamakan (sisi kiri kanannya) bahkan memerintahkan hal tersebut tidak sesuai dengan sunnah, akan tetapi jangan membuat barisan kedua kecuali setelah barisan pertama telah penuh dan jangan membuat barisan ketiga kecuali barisan kedua telah penuh, begitu seterusnya karena terdapat riwayat Rasulallah bahwa beliau memerintahkan hal tersebut.

  1. Apa pendapat anda tentang orang shalat fardhu dibelakang orang yang sedang shalat sunnnah?
J. Tidak mengapa orang yang shalat fardhu mengikuti orang yang shalat sunnah, karena terdapat  riwayat dari Rasulallah bahwa beliau diantara beberapa macam shalat Khauf ikut shlaat bersama kelompok dua rakaat kemudian salam, kemudian ikut shalat lagi bersama kelompok yang lain dua rakaat dan kemudian salam. Maka shalat yang pertama adalah fardhu sedangkan yang kedua adalah sunnah, sedangkan orang-orang dibelakangnya melakukan shalat fardhu. Terdapat riwayat yang shahih dari Mu'adz bin Jabal , bahwa dia shalat Isya' bersama Rasulallah , kemudian dia kembali kepada kaumnya  dan ikut melakukan shalat bersama mereka, maka itu baginya shalat sunnah dan bagi mereka adalah shalat fardhu, dan yang semisalnya jika seseorang datang pada Ramadhan sedang mereka melaksanakan shalat taraweh sedangkan dia belum melakukan shalat Isya', maka dia dapat melakukan shalat Isya' bersama mereka agar dapat meraih keutamaan shalat berjamaah dan jika imam salam dia berdiri dan meneruskan shalatnya.

  1. Apa hukumnya orang shalat sendirian dibelakang shaf ? dan jika seseorang masuk ke masjid dan dia tidak mendapatkan tempat yang lowong dalam barisan apa yang dia lakukan ? dan jika dia dapati anak kecil yang belum baligh apakah dapat dia ikut dalam barisan ?
J. Shalatnya orang yang sendirian dibelakang shaff adalah batal, berdasarkan hadits Rasulallah : "Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian dibelakang shaff".
Begitu juga terdapat riwayat dari Rasulallah bahwa beliau memerintahkan seseorang yang shalat sendirian dibelakang shaff untuk mengulangi shalatnya dan dia tidak bertanya kepadanya apakah terdapat tempat yang lowong atau tidak ?, maka hal itu menunjukkan bahwa tidak ada bedanya antara orang yang tidak mendapat tempat yang lowong dengan orang yang mendapat tempat sebagai upaya untuk menghindari sikap memudahkan dalam masalah shalat sendirian dibelakang shaff.
Akan tetapi jika seseorang yang masbuk (ketinggalan shalat berjamaah), sedangkan imam dalam keadaan ruku' dan ia ikut segera ruku' sebelum masuk shaff, maka shalatnya sah, berdasarkan riwayat dari Rasulallah dalam shahih Bukhari –rahimahullah- dari Abu Bakrah ats Tsaqafiy , "seseorang datang untuk shalat sedangkan Rasulallah sedang ruku', maka dia segera ruku' baru kemudian masuk kedalam shaff, maka bersabda Nabi setelah salam, "semoga Allah menambahkan kesungguhan kepadamu dan jangan ulangi lagi". Beliau tidak menyuruhnya untuk mengganti rakaat tersebut. Adapun yang datang saat imam sedang shalat sedang dia tidak mendapatkan tempat yang lowong maka hendaknya dia menunggu hingga ada orang yang dengannya dapat membuat shaff meskipun Cuma seorang anak kecil yang berusia tujuh tahun keatas, atau dia maju ke sisi kanan imam menjadi barisannya, sebagai pengamalan dari hadits yang ada.

  1. Apakah diharuskan bagi imam untuk melakukan niat menjadi imam. Dan jika seseorang masuk masjid kemudian didapatinya ada seseorang yang shalat, apakah dia boleh bermakmum kepadanya ? apakah dibolehkan bermakmum kepada orang yang masbuk ?
J. Disyariatkan bagi imam untuk niat menjadi imam, berdasarkan hadits Rasulallah : "Sesungguhnya setiap perbuatan harus dengan niat, dan bagi setiap orang tergantung apa yang diniatkannya".
Jika seseorang masuk masjid dan ketinggalan shalat berjamaah kemudian dia mendapati ada orang yang shalat sendirian, maka tidak mengapa baginya untuk ikut shalat bersamanya menjadi makmum, bahkan hal tersebut lebih utama berdasarkan hadits Rasulallah tatkala melihat seseorang yang masuk masjid sedangkan shalat telah selesai "Adakah seseorang yang hendak bersedekah dengan melakukan shalat bersamanya", dengan demikian semuanya akan mendapatkan keutamaan berjamaah. Hal tersebut jika shalat telah dilaksanakan. Adalah shahabat Mu'adz  shalat Isya' bersamaa Rasulallah , kemudian ketika kembali kepada kaumnya dia ikut melakukan shalat yang sama, maka baginya hal itu adalah shalat sunah dan bagi mereka shalat fardhu dan Rasulallah telah menyetujui hal tersebut.
Adapun terhadap makmum masbuq, maka tidak mengapa ikut shalat bersamanya bagi yang ketingalan jamaah dengan harapan mendapatkan keutamaan jamaah dan jika makmum masbuq itu menyelesaikan shalatnya, maka makmumnya berdiri dan meneruskan shalat hingga selesai. Hal tersebut berdasarkan umumnya dalil-dalil yang ada dan hokum ini berlaku umum untuk semua shalat yang lima waktu, berdasarkan hadits Rasulallah terhadap Abu Zar tatkala diberitakan kepadanya tentang kedatangan beberapa orang pemimpin yang menunda shalatnya, maka beliau bersabda: "Shalatlah pada waktunya,  jika dapati mereka maka shalatlah bersama mereka, maka bagimu ha itu adalah nafilah (sunnah) dan jangan engkau mengatakan aku telah shalat maka aku tidak shalat".

  1. Apakah yang didapati makmum masbuq dari rakaat imam termasuk awal shalatnya atau akhir shalatnya, misalnya jika dia tertinggal dua rakaat dari shalat yang empat rakaat apakah dia harus membaca surat setelah al Fatihah ?
J. Yang benar apa yang didapati makmum masbuq dari rakaat imamnya adalah awal shalatnya dan apa yang disempurnakannya adalah akhir shalatnya. Itu semua berlaku bagi semua shalat, berdasarkan hadits Rasulallah : "Jika shalat dilaksanakan berjalanlah kalian (ke tempat shalat) dengan tenang, apa yang kalian dapatkan ikutlah shlaat bersamanya sedang yang tertinggal mkaa sempurnakanlah". (mutafaq alaih)
Dengan demikian maka disunnahkan untuk hanya membaca surat al Fatihah saja pada rakaat ketiga dan keempat pada shalat yang empat rakaat, pada raat ketiga pada shalat maghrib, berdasarkan riwayat yang terdapat dalam as shahihain dari Abi Qatadah , dia berkata: "adalah Rasulallah pada shalat Dhuhur dan Ashar membaca surat al Fatihah dan surat lainnya pada dua rakaat pertama dan pada dua rakaat terakhir membaca al Fatihah".
Dan jika seseorang kadang-kadang membaca surat lain setelah al Fatihah pada rakaat ketiga  dan keempat maka hal tersebut baik, berdasarkan riwayat Muslim dari Abu Said , dia berkata: "adalah Rasulallah pada dua rakaat pertama pada shalat Dhuhu membaca surat sekedar surat as Sajadah, sedangkan pada dua rakaat terakhir sekedar setengahnya dari itu. Adapun pada dua rakaat pertama shalat Ashar bacaannya sekedar  dua rakaat terakhir shalat Dhuhur sedang dua rakaat terakhir setengahnya", maka untuk dapat mengkompromikan kedua hadits ini, dapatlah dikatakan bahwa Rasulallah melakukan hal tersebut (membaca surat setelah al Fatihah pada dua rakaat terakhir shalat Dhuhur) hanya kadang-kadang saja.

  1. Karena banyaknya jamaah shlaat Jum'ah disebagian masjid, maka ketika masjid telah penuh sebagian orang shalat dijalan-jalan dan gang-gang dengan tetap mengikuti imam, apa pendapat anda tentang masalah ini ? apakah ada bedanya antara jalan yang langsung berhubungan dengan masjid dengan jalan yang terdapat pemisah antara orang yang shalat dengan masjid ?
J. Jika barisannya bersambung maka tidak  mengapa (shalat dijalan-jalan), begitu juga jika makmum yang diluar masjid melihat adanya barisan yang ada di depan mereka atau mendengar takbir meskipun antara mereka dipisahkan jalan tidaklah mengapa karena mereka mampu untuk melihat atau mendengar dan karena wajibnya shalat berjamaah. Akan tetapi tidak nboleh ada yang shalat didepan imam karena itu bukan tempatnya makmum.

  1. Jika makmum mendapatkan imam dalam keadaan ruku', apakah yang seharusnya dilakukan makmum saat itu, apakah disyariatkan untuk dapat dikatakan mendapatkan satu rakaat dengan mengatakan " سبحان ربي العظيم  " sebelum imam bangun dari ruku'?
J. Jika makmum mendapatkan imam dalam keadaan ruku', maka dia mendapatkan satu rakaat walaupun tidak sampai membaca tasbih, kecuali imam sudah terlanjur berdiri, berdasarkan hadirs Rasulallah : "Siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat maka dia telah mendapatkan shalat". (HR. Muslim dalam shahihnya)
Umum diketahui bahwa rakaat  didapatkan dengan mendapatkan ruku', berdasarkan hadits Rasulallah yang diriwayatkan oleh Bukhari dai Abu Bakrah ats Tsaqafi yang meriwayatkan suatu hari beliau datang ke masjid saat nabi dalam keadaan ruku', maka dia segaera ruku' sebelum masuk ke dalam shaf (barisan), maka setelah selesai salam,  Rasulallah bersabda: "Semoga Allah menambahkan kesungguhan kepadamu dan jangan ulangi lagi". Beliau tidak memerintahkan untuk mengqadha rakaat tersebut, tetapi cuma melarang untuk mengulangi perbuatannya itu (ruku' sabelum masuk shaf), maka hendaknya  bagi makmum masbuq jangan tergesa-gesa untuk ruku' sebelum memasuki barisan.

  1. Sebagian imam ada yang menunggu orang yang masuk masjid untuk mendapatkan ruku', sebagian lainnya mengatakan: tidak disyariatkan untuk menunggu? Manakah yang benar?
J. Yang benar adalah disyariatkannya menunggu sebentar supaya orang yang masuk tersebt dapat ikut dalam barisan untuk meneladani apa yang dilakukan Rasulallah dalam masalah ini.

  1. Jika seseorang mengimami dua anak kecil atau lebih apakah mereka ditempatkan di belakangnya atau disamping kanannya? Apakah usia baligh merupakan syarat untuk menempatkan seorang anak dalam barisan?
J. Yang benar adalah menempatkan mereka dibelakang sebagaimana orang mukallaf jika usianya telah mencukupi tujuh tahun atau lebih. Begitu juga ditempatkan dibelakang jika mereka  terdiri dari seorang anak kecil dan seorang mukallaf, karena Rasulallah tatkala mengunjungi kakeknya Anas, beliau shalat bersama Anas dan seorang anak yatim dan menempatkan mereka dibelakang. Begitu juga halnya tatkala shalat bersamanya Jabir dan Jabbar dari kalangan Anshor, dia menempatkan mereka di belakang.
Adapun jika makmumnya Cuma seorang, maka ditempatkan disisi kanannya, baik orang dewasa maupun anak kecil, karena Rasulallah tatkala Ibnu Abbas ikut shalat lail bersamanya dan berada disisi kirinya maka beliau memutarnya hingga berada disisi kanannya. Begitu juga halnya Anas shalat bersama Rasulallah dalam sebagian shalat sunnah dan ditempatkannya disisi kanannya. Sedangkan wanita seorang atau lebih, maka tempatnya dibelakang laki-laki dan tidak  boleh sebaris dengan imam, juga dengan laki-laki, karena Rasulallah tatkala shalat bersama Anas dan seorang yatim menempatkan Ummu Sulaim dibelakang mereka, padahal dia ibunya Anas.
  1. Sebagian orang ada yang berkata: Tidak boleh mendirikan jamaah yang lain dalam satu masjid setelah selesainya jamaah yang (pertama), apakah hal tersebut ada dalilnya? Mana yang benar?
J. Pendapat tersebut tidaklah benar dan tidak memiliki dalil syara' yang suci ini sebagaimana yang saya ketahui, bahkan sunnah yang shahih menunjukkan sebaliknya, yaitu hadits Rasulallah yang berbunyi: "shalat berjamaah lebih utama dua puluh derajat daripada shlaat sendirian". Dan hadits lainnya, "Shalat seseorang bersama seseorang (berjamaah) lebih suci daripada shalatnya seorang diri". Juga hadits Rasulallah tatkala melihat seseorang yang masuk masjid tatkala shalat berjamaah telah selesai dilaksanakan, "Siapa yang hendak bersedekah kepadanya maka shalatlah bersamanya".
Akan tetapi tidak boleh bagi setiap muslim untuk menyengaja meninggalkan shalat berjamaah, justru yang wajib baginya adalah segera berangkat untuk shalat berjamaah tatkala mendengarkan adzan.

  1. Jika sang imam bathal wudhunya saat shalat, apakah dia harus menunjuk seseorang untuk menggantikannya menjadi imam shalat atau apakah semua jamaah batal shalatnya dan kemudian dia memerintahkan seseorang untuk mengimami shalat dari awal ?
J. Yang benar bagi imam untuk menunjuk seseorang agar menggantikannya menjadi imam untuk meneruskan shalat yang tersisa, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khotthob tatkala dirinya tertusuk saat mengimami shalat, maka dia menunjuk Abdurrahman bin 'Auf untuk meneruskan shalat fajar. Jika imam tidak menunjuk seseorang, maka salah saeorang ada yang maju dan meneruskan shalat. Jika mereka memulai shalat dari awal juga tidak mengapa karena hal ini adalah masalah khilafiyah antara para ulama, akan tetapi yang lebih kuat adalah imam menunjukkan seseorang untuk meneruskan shalat sebagaimana yang kami sebutkan berdasarkan  perbuatan Umar . Jika mereka memulai dari pertama juga tidak mengapa. Wallahu 'alam.

  1. Apakah jamaah didapatkan dengan mendapatkan salamnya imam atau ruku'nya imam, jika seseorang mendapatkan imam dalam keadaan tasyahud akhir, apakah lebih utama baginya untuk ikut bersama imam atau menunggu imam selesai salam dan dia shalat bersama jamaah (yang baru)?
J. Jamaah tidak didapatkan kecuali dengan mendapatkan rakaat, berdasarkan hadits Rasulallah : "Siapa yang mendapatkan rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat". (HR. Muslim dalam shahihnya) akan tetapi siapa yang memiliki udzur syar'i, maka dia tetap mendapatkan keutamaan jamaah meskipun dia tidak shalat bersama imam, berdasarkan hadits Rasulallah : "Jika seseorang sakit atau bepergian, maka Allah menetapkan baginya balasan sebagaimana yang dia lakukan dalam keadaan sehat atau menetap". (HR. Bukhari dalam shahihnya)
Juga berdasarkan hadits Rasulallah dalam perang tabuk, "Sesungguhnya di Madinah terdapat sejumlah orang yang tidak ikut dalam perjalanan dan tidak menelusuri wadi, kecuali mereka bersama kalian, mereka terhalang oleh udzur (halangan) yang ada pada mereka" dalam sebuah riwayat "kecuali mereka ikut mendapatkan pahala seperti kalian". (Mutafaq alaih).
Jika seseorang imam sedang tasyahud akhir maka ikut bersamanya lebih utama berdasarkan hadits Rasulallah :  "Jika kalian mendatangi shalat maka datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah dan yang tertinggal maka sempurnakanlah". (Mutafaq alaihi). Seandainya mereka membuat jamaah lagi juga tidak mengapa insya Allah.

  1. Kami memperhatikan sebagian orang saat masuk masjid untuk shalat fajar dan iqamat telah dilakukan, dia tetap shalat sunah fajar dua rakaat, setelah itu ikut imam, apakah hukumnya hal tersebut? Manakah yang utama antara shalat sunah fajar setelah shalat subuh langsung atau menunggu terbitnya matahari?
J. Tidak boleh bagi yang di masjid sementara iqamat sudah dilakukan untuk melakukan shalat rawatib atau tahiyatul masjid, justru yang wajib baginya adalah ikut shalat bersama imam, berdasarkan hadits Rasulallah : "Jika iqamah telah dilakukan, maka tidak ada shalat kecuali shalat fardhu". (HR. Imam Muslim dalam shahihnya).

Hadits ini berlaku umum, untuk shalat fajar dan yang lainnya, kemudian setelah itu dia boleh memilih, apakah shalat sunnah rawatib langsung setelah selesai shalat fardhu atau menundanya hingga matahari meninggi dan itulah yang lebih utama, karena terdapat riwayat yang shahih dari Rasulallah yang menunjukkan keduanya.

  1. Seseorang menjadi imam kami dalam shalat, kemudian dia melakukan salam sekali saja. Apakah boleh melakukan salam sekali saja? Adakah riwayat dalam sunnah berkaitan dengan hal tersebut?
J. Jumhur ulama berpendapat bahwa satu salam cukup sebagai sahnya shalat, karena terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan hal tersebut, dan sejumlah ulama ada yang berpendapat bahwa salam harus dilakukan dua kali karena adanya hadits-hadits yang shahih dari Rasulallah berkaitan dengan hal tersebut, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat". (HR. Bukhari dalam shahihnya). Dan inilah pendapat yang lebih benar.
Pendapat yang mengatakan bahwa satu kali salam telah cukup adalah pendapat yang lemah, karena lemahnya hadits-hadits dalam masalah ini dan tidak adanya kejelasan maksudnya. Seandainya pun hadits ini shahih, maka hukumnya adalah syaz (tidak terpakai) karena bertentangan dengan hadits yang lebih shahih dan jelas. Akan tetapi siapa yang melakukan hal itu (sekali salam) karena tidak tahu atau berkeyakinan dengan shahihnya hadits tentang itu, maka shalatnya sah.

  1. Jika makmum masbuq ikut bersama imam dan shalat bersamanya dua rakaat, kemudian setelah itu ternyata imam shalat dengan lima rakaat, apakah satu rakaat tambahan itu dapat dihitung menjadi rakaatnya sehingga dia hanya perlu menambah dua rakaat saja atau tidak dihitung sehingga dia harus menambah tiga rakaat?
J. Yang benar adalah bahwa rakaat (tambahan) tersebut tidak dihitung, karena tidak berlaku dalam hokum syar'i, maka seharusnya tidak perlu mengikuti imam pada rakaat tersebut bagi siapa yang tahu bahwa rakaat tersebut adalah tambahan dan bagi makmum untuk tidak menjadikannya sebagai rakaatnya.
Berkaitan dengan masalah yang ditanyakan, maka wajib baginya untuk mengqadha tiga rakaat, karena pada hakekatnya dia hanya mendapatkan satu rakaat saja.

  1. Seorang imam shalat dengan jamaahnya tanpa wudhu karena lupa. Apa hokum shalat tersebut pada tiga  perkara ini:
    1. Jika dia ingat dipertengahan shalat.
    2. Jika dia ingat setelah salam dan sebelum bubarnya jamaah.
    3. Jika dia ingat setelah bubarnya jamaah.
J. Jika dia tidak ingat kecuali setelah salam, maka shalat bagi jamaahnya sah dan mereka tidak perlu mengulanginya, sedangkan imam, dia harus mengulanginya.
Adapun jika ingatannya dipertengahan shalat, maka hendaknya dia menunjuk salah seorang untuk menjadi imam meneruskan shalat menurut salah satu pendapat yang paling kuat diantara dua pendapat ulama berdasarkan kisah Umar , tatkala dirinya ditikam maka dia menunjuk Abdurrahman bin Auf yang kemudian menjadi imam meneruskan shalat dan tidak mengulanginya dari awal.

  1. Apa hukumnya jika sang imam ternyata adalah orang yang suka berbuat maksiat seperti menghisap rokok, mencukur jenggot atau menjulurkan pakaiannya hingga ke bawah lututnya (isbal) atau yang semacamnya?
J. Shalatnya sah jika ia melakukannya sebagaimana yang Allah syariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama, demikian juga makmum.
Sedangkan orang kafir maka tidaklah sah shalatnya dan shalat orang yang ada dibelakangnya karena tidak adanya syarat yang ada padanya yaitu Islam.

  1. Sebagaimana umum diketahui bahwa tempat makmum jika dia sendirian adalah dibelakang imam. Apakah disyariatkan baginya untuk mundur sedikit sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang?
J. Disyariatkan bagi makmum jika dia seorang diri untuk berada disisi kanan imam dalam posisi sejajar dan tidak terdapat dalil syar'i yang menunjukkan selain itu.

SUJUD SAHWI

  1. Jika seorang yang shalat ragu; apakah dia shalat tiga atau empat rakaat, apa yang harus dia lakukan?
J. Yang wajib baginya saat ragu adalah berpedoman kepada yang diyakininya yaitu yang lebih sedikit. Jika masalahnya seperti contoh diatas maka dia memilih yang ketiga dan kemudian menyempurnakan rakaat yang keempatnya dan kemudian melakukan sujud sahwi setelah itu salam, berdasarkan hadits Rasulallah :
"Jika salah seorang diantara kalian ragu dan tidak tahu berapa rakaat dia telah melakukan shalat, apakah tiga atau empat rakaat, maka hendaklah dia membuang keragunanya dan berpedoman dengan yang diyakininya kemudian sujud dua kali sebelum salam, jika (ternyata) dia shalat lima rakaat  maka dia menggenapkannya dan jika (ternyata) rakaatnya tepat maka itu adalah pukulan bagi syetan". (HR. Imam Muslim dalam shahihnya dari hadits Abi Said al Khudri )
adapun jika dia memiliki dugaan kuat terhadap salah satu diantara keduanya (kurang rakaatnya atau sudah pas) maka ia dapat berpedoman terhadap dugaannya yang lebih kuat dan kemudian sujud sahwi setelah salam berdasarkan hadits Rasulallah :
"Jika salah seorang diantara kalian ragu dalam shalatnya, maka pilihlah yang benar dan kemudian sempurnakanlah kemudian salam kemudian sujud dua kali setelah salam". (HR. Bukhari dalam shahihnya dari hadits Ibnu Mas'ud ).

  1. sebagian imam melakukan sujud sahwi setelah salam, dan sebagian lainnya sujud sebelum salam dan sebagian lagi sujud sebelum salam sekali dan setelah salam sekali. Kapankah waktu pelaksanaan sujud sahwi yang sebenarnya? Dan kapan boleh dilakukan sesudahnya? Dan apakah penentuan sujud sebelum salam atau sesudahnya sebagai sesuatu yang sunnah atau wajib?
J. Dalam hal ini permasalahannya luas, kedua cara tersebut dapat digunakan baik yang sebelum salam atau sesudahnya karena hadits  yang diriwayatikan dari Rasulallah menunjukkan hal tersebut, akan tetapi yang lebih uatam melakukan sujud sahwi sebelum salam, kecuali dalam dua kondisi:
1. Jika dia melakukan slaam dan ternyata masih kurang satu rakaat atau lebih. Maka lebih utama baginya jika melakukan sujud sahwi setelah menyempurnakan shalat dan mengucapkan salam, untuk mengikuti jejak Rasulallah dalam masalah tersebut. Karena Rasulallah tatkala selesai salam dan ternyata  shalatnya masih kurang dua rakaat dalam hadits Abi Hurairah dan serakaat dalam hadits Umron bin Hushain, maka dia melakukan sujud sahwi setelah menyempurnakan shalatnya dan melakukan salam.
2. Jika dia ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat shalatnya, tiga atau empat dalam shalat empat rakaat atau dua atau tiga rakaat dalam shalat Maghrib atau satu rakaat dalam shalat Fajar, akan tetapi perkiraannya lebih kuat kepada salah satu diantara keduanya yaitu kurang atau sempurna maka dia dapat berpedoman kepada yang lebih kuat perkiraannya dan sujud sahwi lebih utama dilakukan sebelum dalam berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang telah disebutkan pada jawaban no.58.

  1. Jika makmum masbuq lupa apakah dia melakukan sujud sujud? Dan kapankah sujud tersebut dilakukan? Dan apakah bagi makmum melakukan sujud sahwi jika dia lupa?
J. Makmum tidak perlu melakukan sujud sahwi jika dia lupa, cukup baginya mengikuti imamnya jika dia ikut bersamanya sejak awal shalat, adapun makmum masbuq jika lupa maka dia harus sujud sahwi, bersama imam atau seorang diri saat dia meneruskan shalat sesuai keterangan terdahulu dalam dua jawaban no. 58 dan 59.

  1. Apa ada syariatnya melakukan sujud sahwi dalam kondisi berikut ini:
a.       Jika dia membaca surat setelah al Fatihah dalam dua rakaat terakhir pada shalat empat rakaat?
b.      Jika dia membaca surat dalam sujud atau membaca Subhana Rabbiyal 'Adjim diantara dua sujud?
c.       Jika dia membaca keras dalam shalat sirriah dan membaca pelan dalam shalat jahriyah?
J. Jika seseorang membaca surat dalam dua rakaat terakhir pada shalat yang empat rakaat karena lupa, maka tidak disyariatkan baginya untuk melakukan sujud sahwi, karena terdapat riwayat yang shahih dari Rasulallah yang menunjukkan bahwa dia membaca surat setelah al Fatihah sebagai tambahan dalam rakaat ketiga dan keempat pada shalat Djuhur. Dan juga terdapat riwayat bahwa beliau memuji Amir yang membaca surat al Ikhlas setelah membaca al Fatihah pada semua rakaat shalatnya. Akan tetapi yang umum diketahui dari Rasulallah adalah bahwa beliau hanya membaca al Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Qatadah .
Dan terdapat riwayat dari Abu Bakar ash Shiddiq bahwa dia pada rakaat ketiga shalat Maghrib setelah al Fatihah, membaca: qs. Ali Imran:8, semua ini menunjukkan bahwa masalah ini bersifat luwes.
Adapun orang yang membaca surat pada saat ruku' atau sujud karena lupa maka dia sujud sahwi, karena dilarang baginya untuk menyengaja membaca surat pada saat ruku' dan sujud karena Nabi melarang hal itu, maka jika dia membacanya karena lupa saat ruku' dan sujud maka wajib baginya untuk sujud sahwi. Begitu juga halnya bagi siapa yang lupa saat ruku' membaca "Subhana Rabbiyal 'Ala" pada saat ruku' atau membaca "Subhana Rabbiyal 'Adjim" pada saat sujud, maka wajib baginya untuk melakukan sujud sahwi, karena dia meninggalkan perkara wajib karena lupa. Adapun jika dia menggabungkan keduanya dalam ruku' maupun sujud karena lupa maka dia tidak wajib untuk sujud sahwi, kalaupun dia sujud juga tidak mengapa berdasarian umumnya dalil dan masalah ini berlaku bagi imam, orang yang shalat seorang diri (munfarid) dan makmum masbuq.
Sedangkan makmum yang ikut bersama imam sejak awal shalat, maka dia tidak perlu melakukan sujud sahwi dalam masalah ini, justru dia harus mengikuti imamnya, begitu juga jika dia mengeraskan bacaan dalam shalat sirriyah dan membaca pelan dalam shalat jahriyah, tidak harus baginya melakukan sujud sahwi, karena Rasulallah kadang-kadang memperdengarkan ayat (yang dibacanya) dalam shalat sirriyah.


JAMA' DAN QASHAR SHALAT

  1. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa jama' dna qashar shalat merupakan du ahal yang harus selalu beriringan, tidak boleh qashar kalau tidak jama' dan tidak boleh jama' kalau tidak qashar, apa pendapat anda tentang masalah ini? Apakah yang lebih utama bagi seorang musafir untuk melakukan qashar tanpa jama', atau qashar dan jama'?
J. Bagi siapa yang dibolehkan baginya untuk mengqashar shalatnya yaitu musafir, maka boleh baginya untuk menjama', akan tetapi tidak harus selalu dilakukan keduanya, maka boleh baginya untuk mengqashar shalat tanpa jama'. Dan meninggalkan jama' lebih utama jika dia menetap dan tidak bergerak sebagaimana yang dilakukan Rasulallah di Mina saat menunaikan haji wada', dia melakukan qashar shalat tapi tidak jama', sedangkan saat perang Tabuk beliau mengqashar shalat dan menjama'. Hal itu menunjukkan bahwa masalah ini luwes. Maka Rasulallah melakukan qashar dan jama' jika sedang dalam perjalanan dan tidak menetap di satu tempat.
Adapun jama', perkaranya lebih luas lagi, karena boleh dilakukan oleh orang sakit, boleh juga bagi kaum muslimin yang sedang berada di dalam masjid saat turun hujan antara Maqhrib dan Isya' dan antara Djuhur dan Ashar tetapi tidak boleh bagi mereka untuk mengqashar shalatnya, karena qashar shalat hanya berlaku bagi musafir.

  1. Jika masuk satu waktu sedang dia masih berada di tempatnya, kemudian berangkat safar sebelum melakukan shalat, apakah boleh baginya untuk melakukan qashar dan jama' atau tidak? Begitu juga halnya jika seorang –misalnya- shalat Djuhur dan Ashar dengan qashar dan jama' kemudian sampai ke kampungnya dalam waktu Ashar, apakah tindakannya tersebut dibenarkan, sedangkan dia tahu saat melakukan qashar dan jama' tersebut, bahwa dia akan tiba di kampungnya pada waktu Ashar?
J. Bagi seorang musafir yang masih berada di kampungnya sedangkan waktu shalat sudah masuk, kemudian dia berangkat sebelum shalat, maka disyariatkan baginya untuk melakukan qashar shalat jika dia telah meninggalkan perkampungannya tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama dan itu adalah pendapat jumhur.
Dan jika dia melakukan jama' dan qashar shlaat dalam perjalanan kemudian tiba di kampungnya sebelum masuk waktu yang kedua atau saat waktu yang kedua, tidak diharuskan baginya untuk  mengulanginya karena dia telah melaksanakan shalat berdasarkan tuntunan syar'i, dan jika dia ikut shalat bersama orang lain maka shalatnya bernilai sunnah.

  1. Apa pendapat anda tentang perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, apakah ditentukan berdasarkan jarak tertentu? Dan apa pendapat anda tentang orang yang niat untuk menetap dalam perjalanannya lebih dari empat hari, apakah ada keringanan baginya untuk mengqashar shalatnya?
J. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalat yang karenanya dibolehkan mengqashar shalat ditentukan, yaitu sehari semalam perjalanan onta dan perjalanan kaki dalam sebuah perjalanan normal atau sekitar 80 km. karena umum diketahui bahwa (orang yang menempuh) jarak tersebut disebut safar dan tidak demikian halnya jika kurang dari itu. Jumhur juga berpendapat siapa yang berniat untuk menetap lebih dari empat hari maka wajib baginya untuk menyempurnakan shalatnya dan melakukan puasa pada bulan Ramadhan. Sedangkan jika jarak yang ditempuh lebih sedikit dari itu maka boleh baginya untuk melakukan jama' dan qashar shalat dan tidak berpuasa karena asal hokum bagi orang yang menetap adalah menyempurnakan shalat, sedangkan qashar shalat disyariatkan jika dia benar-benar menempuh perjalanan. Terdapat riwayat dari Rasulallah : "Bahwa dia menetap dalam saat haji Wada' empat hari lamanya, mengqashar shalat, kemudian berangkat ke Mina dan Arafah". Hal itu menunjukkan bolehnya qashar shalat bagi orang yang berniat untuk menetap selama empat hari atau kurang. Adapun menetapnya Rasulallah selama sembilan belas hari pada 'Aamul Fath (tahun terjadinya penaklukan kota Makkah) di Makkah dan dua puluh hari di Tabuk, diperkirakan bahwa beliau tidak menetap sekaligus, akan tetapi beliau menetap karena sebab yang tidak diketahui kapan berakhirnya. Begitulah jumhur ulama memperkirakan masalah ini saat Rasulallah di Makkah pada saat hari penaklukannya dan di Tabuk saat perang Tabuk sebagai kehati-hatian dalam beragama dan mengamalkan hukum asal, yaitu wajibnya shalat empat rakaat bagi mukimin (orang-orang yang menetap) pada shalat Djuhur, Ashar dan Isya'.
Adapun jika dia tidak menetap sekaligus dan tidak tahu kapan akan berangkat, maka boleh baginya untuk mengqashar dan menjama' shalatnya serta tidak berpuasa hingga dia dapat menetap empat hari sekaligus atau lebih atau pulang ke kampungnya.

  1. Apa pendapat anda tentang masalah menjama' shalat pada saat turunnya hujan antara Maghrib dan Isya' pada waktu sekarang ini di kota-kota yang jalan-jalannya beraspas dank eras serta diberi cahaya lampu, sehingga tidak ada lagi kesulitan dan penganggu Lumpur hujan?
J. Tidak mengapa untuk melakukan jama' shalat antara Maghrib dan Isya' atau Djuhur dan Ashar –menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat ulama- disebabkan hujan yang membuat orang kesulitan untuk dating ke masjid, begitu juga karena kondisi jalan yang licin atau banjir yang memberatkan.
Dalil dari masalah tersebut adalah hadits Rasulallah yang terdapat dalam ash Shahihain dari Ibnu Abbas , "Sesungguhnya Rasulallah menjama' antara (shalat) Djuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'". Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya, "Bukan karena takut, hujan dan safar (dalam perjalanan)".
Maka hal tersebut menunjukkan bahwa telah tetap dikalangan para shahabat , bahwa takut dan hujan merupakan alasan bagi seseorang untuk menjama' shalatnya sebagaimana dalam perjalanan jauh, akan tetapi tidak boleh mengqashar shalat dalam kondisi tersebut, yang dibolehkan hanya menjama' saja sebab mereka sedang menetap, tidak dalam perjalanan, sedangkan qashar khusus keringanan bagi orang yang dalam perjalanan.

  1. Apakah niat merupakan syarat bagi dibolehkannya menjama' shalat? Banyak yang shalat Maghrib tanpa niat jama' dan setelah shalat mereka bermusyawarah dan memutuskan untuk melakukan jama' shalat kemudian shalat Isya'?
J. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dan yang rajah (lebih kuat) adalah bahwa niat bukan merupakan syarat saat memulai shalat pertama, maka itu boleh menjama' shalat setelah selesai shalat yang pertama jika terdapat syaratnya, yaitu takut, sakit dan hujan.

  1. Mengenai masalah muwalat (bersambung), kadang-kadang ada yang melakukan dengan menunda shalat yang kedua hingga terdapat jeda beberapa saat lalu mereka melakukan jama'. Apakah hukum hal tersebut?
J. Muwalat merupakan hal yang wajib dalam jama' taqdim (menjama' shalat pada waktu shalat yang pertama), diantara dua shalat harus dilaksanakan secara beriringan, jika waktu jeda hanya sekedarnya dan tidak beberapa lama maka tidak mengapa, sebagaimana riwayat dari Rasulallah dalam masalah ini. Dan telah bersabda Rasulallah : "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat". Yang benar bahwa niat bukanlah syarat sebagaimana yang telah diterangkan dalam jawaban no.66.
Sedangkan jama' ta'khir (menjama' shalat pada waktu shalat yang kedua), maka masalahnya luwes. Karena shalat yang kedua dilaksanakan pada waktunya, akan tetapi yang utama adalah dengan melaksanakannya secara beriringan untuk meneladani Rasulallah dalam masalah ini.

  1. Jika kita dalam perjalanan dan melewati masjid saat masuk waktu -Djuhur misalnya-, apakah disunnahkan bagi kita untuk shalat Djuhur bersama jamaah kemudian kita shalat Ashar dengan qashar atau kita shalat sendiri? Apakah jika kita shalat bersama jamaah dan kemudian kita hendak shalat Ashar, kita langsung bangun setelah salam agar tercapai muwalat (beriringan), apa kita melakukan zikir dahulu baru kemudian shalat Ashar?
J. Yang lebih utama adalah shalat sendiri dengan cara qashar, karena sunnah bagi seorang musafir adalah mengqashar shalat. Jika anda ikut shalat bersama jamaah maka wajib shalat dengan sempurna berdasarkan riwayat shahih dari Rasulallah . Dan jika anda hendak menjama' shalat maka harus segera melakukannya sebagaimana pengamalan terhadap sunnah sebagaimana jawaban yang telah lalu dalam soal no.67, setelah membaca istighfar sebanyak tiga kali dan membaca "Allahumma Anta Salam …. ".
Akan tetapi jika musafir hanya seorang diri maka wajib baginya untuk shalat bersama jamaah yang ada dan menyempurnakan shalatnya karena shalat berjamaah merupakan kewajiban sedangkan qashar shalat adalah sunnah, maka yang wajib harus didahulukan dari yang sunnah.

  1. Apa hukumnya jika orang yang menetap shalat dibelakang orang yang safar atau sebaliknya, apakah pada saat tersebut seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, baik jika dia menjadi makmum atau imam?
J. Shalatnya orang musafir dibelakang orang yang mukim dan shalatnya orang yang mukim dibelakang musafir keduanya tidak mengapa, akan tetapi jika makmumnya musafir dan imamnya adalah orang yang mukim (menetap) maka shalatnya dilakukan dengan sempurna karena harus mengikuti imam, sebagaimana riwayat yang terdapat dalam musnad imam Ahmad dan shahih Muslim dari Ibnu Abbas bahwa beliau ditanya tentang shalat musafir dibelakang orang yang menetap sebanyak empat rakaat, maka dia menjawab bahwa itulah sunnah.
Adapun jika seorang yang menetap shalat dibelakang musafir pada shalat yang empat rakaat maka dia harus menyempurnakan shalatnya jika imamnya memberi salam.

  1. Dalam masalah jama' antara shalat Maghrib dan Isya' karena hujan, mungkin ada terjadi kondisi dimana sebagian jamaah dan imam shalat Isya' kemudian ada sebagian orang yang masuk ikut shalat bersama imam dengan dugaan bahwa dia (imam) shalat maghrib, maka bagaimanakah kedudukan shalat mereka?
J. Mereka harus tetap duduk setelah rakaat yang ketiga dan membaca tasyahhud dan berdoa serta melakukan salam bersamanya. Kemudian setelah itu shalat Isya' untuk mendapatkan keutamaan jamaah dan melakukannya dengan urut. Yang wajib jika telah ketinggalan satu rakaat maka shalat bersamanya dari rakaat sisanya dengan niat Maghrib dan sah shalat Maghribnya. Dan jika ketinggalan lebih dari itu maka shalatlah bersamanya kemudian melengkapi rakaat yang tersisa pada mereka. Demikian juga halnya seandainya dia mengetahui bahwa shalat yang berlangsung adalah shalat Isya', maka ikutlah bersamanya dengan niat maghrib dan melakukan sebagaimana yang telah kami sebutkan kemudian setelah itu shalat Isya', menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat ulama.

  1. Terjadi perbedaan pendapat dalam masalah keutamaan melakukan sunnah rawatib (shalat sunnah sesudah atau sebelum shalat fardhu), ada yang mengatakan bahwa melakukannya termasuk sunnah dan ada juga yang mengatakan bukan merupakan sunnah karena shalat fardhunya telah di qashar, apa pendapat anda dalam masalah ini? Demikian juga dengan masalah shalat sunnah mutlak seperti shalat lail?
J. Sunnah bagi seorang musafir adalah meninggalkan shalat rawatib Djuhur, Maghrib dan Isya' dan tetap melakukan sunnah Fajar, untuk mencontoh Rasulallah dalam masalah ini. Demikian juga halnya dengan masalah tahajjud pada waktu malam dan shalat witir, dalam perjalanan keduanya tetap disyariatkan, karena Rasulallah melakukan hal yang demikian itu, begitu juga seluruh shalat sunnah mutlak dan shalat yang memiliki sebab seperti shalat sunnah Dhuha, setelah wudhu dan shalat Kusuf (shalat gerhana), disyariatkan juga baginya sujud tilawah dan shalat Tahiyatul masjid jika dia masuk untuk shalat atau tujuan lain.

MASALAH-MASALAH UMUM

  1. Apakah taharah merupakan syarat bagi sujud tilawah? Apakah dia harus bertakbir jika hendak sujud atau bangun dari sujud, baik dalam waktu shalat maupun di luar shalat? Apa yang dibaca saat sujud? Apakah terdapat doa yang ada dalam masalah ini shahih? Apakah disyariatkan salam pada sujud ini jika dilakukan diluar shalat?
J. Sujud tilawah tidak disyaratkan baginya untuk bersuci menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama dan tidak terdapat padanya salam dan takbir saat bangun darinya. Dan disyariatkan bertakbir saat bersujud, karena terdapat hadits Ibnu Umar yang menunjukkan hal tersebut.
Sedangkan jika sujud tilawah dilakukan saat shalat maka wajib baginya bertakbir saat hendak sujud dan saat bangun, karena Rasulallah melakukan hal tersebut dalam shalatnya saat hendak sujud dan saat hendak bangun. Terdapat riwayat shahih dari Rasulallah bahwa beliau bersabda: "Shalatlah kamu sekalian sebagaimana melihat aku shalat". Disyariatkan dalam sujud tersebut untuk membaca zikir dan doa yang dibaca pada sujud waktu shalat berdasarkan umumnya hadits, diantaranya adalah:

"Ya Allah, kepadaMu aku bersujud dan kepadaMu aku berserah diri, aku bersujud kepada yang menciptakan (ku), menggambar (membentuk) tubuhku,  dan memecahkan (memberikan) pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatanNya, maha suci Allah sebaik-baik pencipta".

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari hadits Ali , bahwa Rasulallah mengucapkan zikir ini dalam sujud waktu shalat dan telah dikemukakan sebelumnya bahwa apa yang disyariatkan dalam sujud waktu shalat juga disyariatkan dalam sujud tilawah dan terdapat riwayat dari Rasulallah bahwa beliau berdoa saat sujud tilawah sebagai berikuat:

"Ya Allah, tetapkanlah bagiku dari sisiMu pahala, dan hapuskanlah dariku dengannya dosa dan jadikanlah bagiku dari sisiMu simpanan dan terimalah dariku sebagaimana Engkau menerima dari hambaMu Daud 'alaihissalam".
Yang wajib dalam masalah ini adalah membaca: "Subhaana Rabbiyal 'Ala', sebagaimana yang wajib dibaca saat sujud waktu shalat, sedangkan yang lebih dari itu berupa zikir dan doa adalah sunnah. Sedangkan sujud tilawah sendiri baik dalam shalat maupun diluar shalat adalah sunnah, sebagaimana terdapat riwayat dalam hadits Zaid bin Tsabit yang menunjukkan hal tersebut dan riwayat dari Umar yang juga menunjukkan hal tersebut.

  1. Ada kemungkinan gerhana matahari terjadi setelah waktu Ashar, apakah shalat gerhana dapat dilaksanakan dalam waktu yang terlarang? Begitu juga halnya dengan shalat tahiyatul masjid?
J. Dalam kedua masalah tersebut terdapat perbedaan diantara para ulama, dan yang benar adalah boleh melakukan hal tersebut bahkan disyariatkan, karena shalat gerhana dan tahiyatul masjid adalah shalat yang memiliki sebab. Oleh karena itu disyariatkan meskipun pada waktu yang terlarang seperti setelah Ashar dan setelah Subuh sebagaimana waktu-waktu yang lainnya berdasarkan umumnya hadits Rasulallah :
"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua diantara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang atau kehidupannya, jika kalian menyaksikannya maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana berlalu". (HR. Mutafaq alaihi)
Dan juga berdasarkan hadits:
"Jika salah seorang diantara kalian memasuki masjid, maka janganlah duduk hingga dia shalat dua rakaat". (HR. Mutafaq alaihi)
begitu juga shalat sunnah thawaff dua rakaat, seandainya seorang muslim thawaf setelah Subuh atau setelah Ashar, berdasarkan hadits Rasulallah :
"Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian mencegah seseorang untuk melakukan thawaf di Baitullah dan melakukan shalat kapanpun dia suka baik siang maupun malam". (HR. Mutafaq alaihi)

  1. Apa yang dimaksud dengan "akhir shalat" dalam hadits yang menganjurkan untuk membaca doa atau zikir setiap akhir shalat, apakah yang dimaksud adalah akhir shalat atau setelah salam?
J. Akhir shalat bisa difahami akhirnya sebelum salam atau setelah salam langsung, dan terdapat banyak hadits shahih terntang hal tersebut dan mauoritas menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah akhir shalat sebelum salam jika berkaitan dengan doa, berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud , tatkala beliau diajarkan Rasulallah tentang tasyahud, kemudian beliau bersabda:
"Kemudian hendaklah dia memilih doa yang diingininya lalu berdoa" dan pada redaksi yang lain "Kemudian dia memilih permohonan yang dia sukai". (HR. Mutafaq alaihi)
Juga hadits dari Mu'adz bahwa Rasulallah bersabda:
"Janganlah engkau tinggalkan disetiap akhir shalat untuk membaca:
"Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepadaMu, dan bersyukur kepadaMu dan beribadah dengan baik kepadaMu". (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa'i dengan sanad shahih)
Juga dari Saad bin Abi Waqas dia berkata: Rasulallah disetiap akhir shalat membaca:
"Ya Allah, aku berlindung kepadaMu, dari sifat kikir dan aku berlindung kepadaMu dari rasa takut dan aku berlindung kepadaMu untuk tidak dikembalikan kepada umur yang sia-sia (pikun) dan aku berlindung kepadaMu dari fitnah dunia dan dari adzab kubur".
Adapun dzikir-dzikir yang terdapat dalam masalah ini, maka beberapa hadits yang shahih menunjukkan bahwa hal itu dibaca setelah salam.

  1. Apa hukumnya dzikir yang dilakukan secara berbarengan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, apakah sunnahnya dalam masalah ini mengeraskan suara atau menyembunyikannya?
J. Yang disunnahkan adalah mengeraskan bacaan dzikir setelah shalat lima waktu dan setelah shalat Jum'at setelah salam, sebagaimana terdapat dalam riwayat dalam as Shahihain dari Ibnu Abbas bahwa beliau mengeraskan suaranya saat berdzikir dan setelah melaksanakan shalat fardhu, hal tersebut dilakukan pada zaman Rasulallah , Ibnu Abbas berkata; "Aku mengetahui mereka shalat jika aku mendengarnya".
Adapun melakukan secara berbarengan dimana satu sama lain saling menyamakan suaranya dari awal hingga akhir dan saling mengikuti, hal tersebut tidak terdapat dasarnya, justru itu adalah bid'ah, yang disyariatkan adalah  melakukan dzikrullah semuanya tanpa satu sama lainnya saling mengikuti suaranya (dikomando) dari awal hingga akhir.

  1. Jika seseorang berbicara saat shalat karena lupa, apakah shalatnya batal?
J. Jika seorang muslim berbicara saat shalat karena lupa atau tidak tahu maka shalatnya tidak batal, baik itu shalat fardhu atau shalat sunnah, berdasarkan firman Allah , (al Baqarah:286)
Terdapat riwayat shahih dari Rasulallah , bahwa Allah berfirman: "Aku telah melakukannya (tidak menghukum orang yang lupa dan tersalah)".
Terdapat dalam shahih Muslim dari Mu'awiyah bin al Hakam as Silmi , bahwa dia menjawab orang yang bersin saat shalat karena tidak tahu atas hokum syar'i, maka orang-orang yang berada sisekelilingnya mengingkarinya dengan memberikan isyarat, maka dia bertanya kepada Rasulallah tentang hal itu dan Rasulallah tidak menyuruhnya mengulanginya lagi, sedangkan orang yang lupa seperti berbicara saat shalat karena lupa  dan dia tidak mengulanginya bahkan justru meneruskan shalatnya sebagaimana yang terdapat dalam as Shahihain dari hadits Abu Hurairah dalam kisah Dzul Yadain dan shahih Muslim dari hadits Ibnu Mas'ud dan Umran bin Hushain .
Sedangkan memberi isyarat dalam shalat tidaklah mengapa jika terdapat keperluan didalamnya.


CARA SHALAT NABI

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam kepada hamba dan RasulNya, Muhammad dan keluarganya serta shahabatnya.
Ini adalah uraian singkat yang menerangkan tentang sifat shalat Nabi , saya sampaikan kepada seluruh muslim dan muslimah, agar setiap orang membacanya dan berusaha untuk mengikuti Rasulallah dalam masalah ini, sebagaimana hadits: "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat". (HR. Bukhari)
Berikut penjelasannya:
  1. Melakukan wudhu dengan sempurna. (Qs. Al Maidah:6)
Hadits Rasulallah : "Tidak diterima shalat tanpa thaharah (berwudhu) dan shadaqah dari harta yang tidak halal". (HR. Muslim)
  1. Menghadap kiblat –Ka'bah- dimana saja dia berada dengan seluruh badannya seraya menghadirkan hatinya (niat) untuk melakukan shlaat yang diinginkannya (fardhu atau sunnah), lisannya tidak melafadzkan niat, karena melafadzkan niat dengan lisan tidak disyariatkan bahkan perbuatan tersebut adalah bid'ah karena Rasulallah tidak melafadzkan niat, begitu juga para shahabat  , dan disunnahkan baginya untuk membuat sutrah (pembatas) didepannya jika dia menjadi imam atau shalat sendirian berdasarkan perintah Rasulallah dalam maslaah ini.
  2. Melakukan takbiratul ihram, seraya mengucapkan "Allahu Akbar", sementara pandanagannya diarahkan ketempat sujud.
  3. Mengangkat kedua tangan saat takbir hingga sejajar dengan pundak atau kedua ujung telinganya.
  4. Meletakkan kedua tangan di dada, tangan kanannya diatas pergelangan telapak tangan kirinya.