Mengarungi Samudra Kehidupan, kita ibarat pengembara hidup merupakan perjuangan yang akan jadi saksi pengorbanan. Baca Selengkapnya: Cara Membuat Tulisan Berjalan (Marquee) Pada Blog http://bisikan.com/cara-membuat-tulisan-berjalan-marquee-pada-blog#ixzz3jvtZ953R

Jumat, 07 Agustus 2015

Oleh : JIMI HARIANTO, M.Pd.I
MENAJEMEN BERBASIS ULUL ALBAB
A.    Latar Belakang
Dengan perkembangan zaman yang semakin komplek dan majunya proses ilmu pengetahuan dan tehnologi akan selalu membawa perubahan dalam aspek kehidupan, dan kini hal tersebut telah dirasakan dan menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang cukup pesat, baik dari segi pendidikan, struktur ekonomi, sosial, budaya dan juga dari segi pola dan gaya hidup, sehingga terjadi pergeseran suatu nilai baik buruk, khususnya yang berkaitan dengan norma-norma agama[1]
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan dibidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara kaffah. Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sangat terkait dengan kegiatan dakwah islamiyah. Pendidikan Islam berperan sebagai mediator dimana ajaran islam dapat disosoalisasikan  kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qura’an dan Al-Sunnah. Sehubungan dengan itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan pengamalan  masyarakat terhadap ajaran Islam amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan islam yang diterimanya.[2]
Bertolak dari kerangka tersebut diatas, maka pendidikan Islam di Indonesia seringkali berhadapan dengan berbagai problematika yang tidak ringan. Diketahui bahwa sebagai sebuah system pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.[3] Komponen tersebugt meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran , sarana dan prasarana, evaluasi, pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen yang terdapat dalam pendidikan ini sering berjalan apa adanya, alami dan tradisional, karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang. Akibat dari keadaan demikian, maka mutu pendidikan Islam seringkali menunjujkan keadaan yang kurang mengembirakan.
Landasan dan dasar pendidikan Islam yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah belum benar-benar digunakan sebagai mestinya. Hal ini  sebagai akibat belum adanya sarjana dan pakar di Indonesia yang secara khusus mendalami pemahaman Al-Quran dan Al-Sunnah dalam perspektif pendidikan Islam.[4] Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan Al-Qur’an Al-Sunnah yang berhubungan dengan pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai akibat dari kekurangan tersebugt diatas, maka tujuan dan visi pendidikan Islam juga masih belum berhasil dirumuskan dengan baik. Tujuan pendidikan Islam seringkali diarahkan  untuk menghasilkan manusia-manusia yang hanya menguasi ilmu Islam saja, dan visinya diarakan untuk mewujudkan manusia yang salih  dalam arti yang taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akhirat saja. Akibatnya dari keadaan yang demikian ini, maka lulusan pendidikan Islam hanya memiliki kesempatan dan peluang yang terbatas, yaitu sebagai pengawal moral bangsa. Mereka kurang mampu bersaing dan tidak mampu merebut peluang dan kesempatan yang tersedia dalam memasuki lapangan kerja. Akibat lebih lanjut lulusan pendidikan Islam semakin termarginalisasikan dan tak berdaya. Keadaan yang demikian merupakan masalah besar yang perlu segera diatasi, lebih- lebih lagi jika dihubungnkan dengan adanya persaingan yang makin kompetitif pada era globalisasi.



B.     Konsep Dasar Menajemen Berbasis Ulul Albab    
Dalam Al Quran, ulul albab adalah seseorang dengan kualitas tertentu. Kata al-bab, merupakan kata jamak dari al-lub, yang artinya otak, pikiran, intelek.[5] Jadi seorang ulul al-bab adalah seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari orang lain, baik karena kecerdasan maupun intensitasnya. Dengan perkataan lain, ulul al-bab adalah seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-cendekia, atau seorang filosof yang berfikir mendalam. Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an. Namun, Karena itulah para mufassir kemudian memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul albab, Imam Nawawi, misalnya menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting mereka mengerti, mengusai dan mengamalkan ajaran Islam.
Sementara itu Ibn Mundzir menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertakwa kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal. Sebelumnya melihat tanda-tanda atau ciri-ciri ulul albab yang disampaikan Al-Qur’an, ada baiknya kita diskusikan pengertian istilah-istilah ini. Dalam bahasa Indonesia ada tiga istilah yang hampir sama tapi sangat jauh berbeda artinya sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi dengan menggondol gelar sarjana. Jumlahnya amat banyak, karena setiap tahun perguruan tinggi selalu memprodoksi sarjana, Ilmuan adalah mereka yang mendalami ilmunya kemudian berusaha mengembangkannya, baik dengan pengamatan atau analisa sendiri. Dalam berbagai kesempatan, seorang ilmuwan terkadang berbicara dengan bahasa yang universal dan terkesan asing, sehingga sulit dipahami umatnya. Dari sekian sarjana, hanya beberapa yang menjadi ilmuwan. Lainnya hanya sibuk dalam kegiatan-kegiatan rutin.  Adapun intelektual adalah mereka yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Maksudnya, intelektual adalah orang yang menggarap sekaligus menggabungkan antara teori dengan operasionalnya berdasarkan gagasan-gagasan normatif. Kaum intelektual adalah mereka yang berusaha membentuk lingkungan dan masyarakatnya dengan gagasan-gagasan analisis dan normatif. Ali Syariati memberi istilah intelektual dengan Rausyanfikr yang artinya pemikir yang tercerahkan. Rausyanfikr tidak hanya menemukan kenyataan atau menyajikan fakta sesuai apa adanya seperti kerja ilmuwan tetapi berusaha menemukan kebenaran sekaligus memberikan penilaian terhadap sesuatu bagaimana seharusnya. Selain itu, rausyafikr tidak bersikap netral dalam pekerjaannya sebagaimana ilmuwan. Rausyanfikr terjun langsung melibatkan diri pada idiologi. Ia adalah "fa'il" (penentudan pelaku) sejarah, bukan "maf'ul" (objek) sejarah. Terjemahanyang paling tepat untuk rausyanfikr, mungkin, adalah intelektual dalam arti yang sebenar-benarnya. Menurut Jalaluddin Rahmad intelektual bukan sekedar sarjana atau ilmuwan. Intelektual adalah orang yang benar-benar merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat dan bangsanya, menangkapaspirasinya, kemudian merumuskan dan menawarkan strategi serta alternatif pemecahannya. Sudah barang tentu, dalam hal ini mereka ikut terjun langsung dalam pelaksanaannya, bukan sekedar menyodorkan konsep. Kaum intelektual sangat dekat dengan umatnya, sehingga segala kebutuhan dan kesusahan umat dapat diketahui dengan jelas. yang membedakan ulul albab dengan ilmuan atau intelektual lainnya adalah, seorang ulul albab rajin bangun tengah malam untuk rukuk dan bersujud dihadapan Allah. Dengan demikian, ulul albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Dalam diri ulul albab berpadu sifat-sifat ilmuan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah SWT. Dengan begitu, konsep-konsep penyelesaian yang disodorkan benar-benar bisa menemui sasaran. Tegasnya, intelektual bukan sekedar orang yang hanya dapat berbicara di mimbar dan seminar atau kerja di belakang meja, melainkan orang yang mempunyai konsep sekaligus mampu mengaplikasikannya. Dalam Islam, seorang intelektual bukan sekedar orang yang sanggup melahirkan gagasan-gagasan normatif dan aplikasinya, tetapi sekaligus juga memahami ajaran dan sejarahagamanya. Artinya, intelektual muslim harus menguasai ajaran-ajaran agamanya.
Sejauh itu Al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan tanda-tandanya saja. Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam Al-Qur’an adalah:
1.      Bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan    mengamati semua rahasia wahyu (Al-Qur’an maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama.
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$#   ÇÊÒÉÈ  
"Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190).[6]
2.      Selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang. "Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu.
(#qà)¨?$$sù ©!$# Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÉÈ  
Bertaqwalah hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS,Al-Maidah, 100)[7]
3. Teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain.
4. Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan.
  5. Ulul Albab senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi.
6. Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena.


C.       Tujuan Menajemen Berbasis Ulul Albab
                        Menjemen berbasis ulul albab bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan dalam iman dan takwa, tampaknya seorang ulul-albab tak jauh berbeda dengan seorang intelektual; ini jika dilihat dari beberapa tanda ulul-albab yang telah disebutkan seperti: bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan keyakinannya, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Namun dalam ayat lain, Allah swt dengan jelas membedakan seorang ulul-albab dengan intelektual:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötƒur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
  “Apakah orang  yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya: samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. Az zumar:9)
Dengan merujuk kepada firman Allah di atas, inilah “tanda khas” yang
membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelektual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan rukuk di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah Swt, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya.
Tanda khas yang lain disebutkan dalam Al-Quran:
tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_
 “Dia zikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan   keadaan berbaring.” (QS 3:191)
Kalau dapat saya simpulkan dalam satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah swt. Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus ulul-albab.
D.    Manfaat Menajemen Berbasis Ulul Albab
Sosok manusia ulû al-albâb adalah orang yang mengedepankan dzikr, fikr dan amal shaleh. Ia memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan sebenar-benarnya perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadirannya di muka bumi sebagai pemimpin menegakkan yang hak dan menjauhkan kebatilan.  Ulû al-albâb adalah manusia yang bertauhid. Kalimah syahadah sebagai pegangan pokoknya, “Asyhadu an la ilâha illâ Allâh, wa asyhadu anna Muhammad Rasûl Allâh.” Sebagai penyandang tauhid, ia berpandangan bahwa tidak terdapat kekuatan di muka bumi ini selain Allah. Semua makhluk manusia berposisi sama. Jika terdapat seseorang atau sekelompok/sejumlah orang dipandang lebih mulia, adalah oleh karena ia atau mereka telah menyandang ilmu, iman dan amal shaleh (taqwa). Penyandang derajat ulû al-albâb tidak akan takut dan merasa rendah di hadapan siapapun sesama manusia. Kelebihan seseorang berupa kekuasaan, kekayaan, keturunan/nasab dan keindahan/ kekuatan tubuh tidak menjadikannya ia lebih mulia dari pada yang lain. Mencari ilmu bukan sebatas untuk memperoleh ijazah dan kemudahan dalam mencari pekerjaan dan rizki. Ulû al-albâb selalu yakin pada janji Allah bahwa rizki seseorang selalu berada di bawah keputusan Tuhan. Tidak selayaknya seseorang merisaukan terhadap rizki dan jenis pekerjaan yang akan diperoleh. Kebahagiaan bukan semata-mata terletak pada keberhasilan mengumpulkan rizki, tetapi pada kedekatan dengan Yang Maha Kuasa, Allah swt. Mahasiswa mencari ilmu pengetahuan lewat observasi, eksperimen dan membaca berbagai literatur bukan semata-mata untuk memperoleh indeks prestasi (IP) dan/atau sertifikat/ijazah, apalagi dikaitkan untuk mendapatkan pekerjaan dan rizki, tetapi adalah kewajiban agar menyandang derajad ulû al-albâb.
Manfaat menajemen pendidikan berbasis ulul albab di perguruan tinggi diarahkan untuk menjadikan seluruh mahasiswanya :
1.       Berilmu pengetahuan yang luas,
2.       mampu melihat/membaca fenomena alam dan sosial secara tepat,
3.       Memiliki otak yang cerdas,
4.       berhati lembut dan  bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai pengejawantahan amal shaleh.
Jika kelima kekuatan ini berhasil dimiliki oleh siapa saja yang belajar di kampus ini, artinya pendidikan ulû al-albâb sudah dipandang berhasil. Sebab, dengan ciri-ciri itu seseorang diharapkan akan memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional.


E.     Implementasi Menajemen Berbasis Ulul Albab
Manajemen Pengelolaan dan Pengembangan Kampus  Al-Qur’an bagi umat Islam adalah petunjuk segala kehidupan, tak terkecuali dalam mengembangkan organisasi pendidikan yang melibatkan orang banyak. Membangun kampus sama artinya dengan membangun orang, baik dari sisi karakter, perilaku, keilmuan maupun ketrampilan.  Mengatur orang banyak dengan berbagai sifatnya harus menggunakan pendekatan kemanusiaan. Sebab, manusia selain memiliki potensi maslahah, sekaligus juga menyandang potensi sifat-sifat mafsadah. Kedua sifat yang berlawanan itu tidak akan dapat dihilangkan, oleh karena itu harus disalurkan pada hal yang menguntungkan.  Selanjutnya harus dibedakan antara manajemen pengelolaan kampus dan manajemen pengembangan kampus. Manajemen pengelolaan kampus lebih tertuju pada penataan atau pengaturan terhadap seluruh kegiatan pelayanan pendidikan. Sedangkan manajemen pengembangan kampus lebih diarahkan pada upaya menumbuh-kembangkan kampus agar tahap demi tahap mengalami kemajuan. Kedua jenis manajemen tersebut diuraikan secara garis besar. 
1.      Manajemen Pengelolaan Kampus 
Manajemen yang dikembangkan agar lembaga ini tumbuh secara wajar, dinamis, inovatif dan terhindar dari hambatan psikologis harus selalu menumbuh-kembangkan suasana kebersamaan, keterbukaan, tanggung jawab, amanah dan profesional. Sebagai lembaga pendidikan, kampus ini memiliki peran dan tanggung jawab menumbuh -kembangkan anak-anak muda yang penuh harap agar kelak menjadi manusia ulû al-albâb. Lembaga ini tak ubahnya sebidang persemaian anak manusia yang harus tumbuh secara wajar, sehat dan sempurna. Sedemikian berat peran yang harus diemban oleh lembaga pendidikan tinggi ini. Oleh karena itu, lembaga ini harus disangga oleh orang banyak, dan bukan justru saling memperebutkan amanah. Perebutan yang berlebihan hanya akan memperlemah kekuatan yang diperlukan untuk menyangga beban berat tersebut. Sebagai langkah antisipatif untuk menjaga kebersamaan yang kukuh kampus ini harus menjauhkan diri dari atmosfir politik. Sebab, kampus bukan lembaga politik, melainkan lembaga akademik. Selain itu untuk menjaga keutuhan bersama maka harus selalu diwaspadai, jika muncul gejala seseorang atau sekelompok orang merasa terpinggirkan, maka harus segera dihimpun. Keutuhan dan kebersamaan dalam kampus ini harus ditempatkan pada posisi strategis yang tak boleh diabaikan. Partisipasi semua pihak, sebagai syarat agar organisasi dapat tumbuh sehat, harus didasarkan atas profesionalisme. Penetapan seseorang menduduki jabatan tertentu harus dipilih secara fair, objektif dan demokratis. Penempatan seseorang untuk menduduki jabatan tertentu yang hanya didasarkan pada pertimbangan kedekatan hubungan kelompok atau primordial akan meruntuhkan semangat partisipasi. Profesionalisme menuntut rasionalisme yang merupakan ciri khas perguruan tinggi. Hal lain yang tidak boleh dilanggar adalah tumbuhnya rasa ketidak-adilan, termasuk dalam pembagian informasi. Perasaan tidak adil akan melahirkan friksi-friksi yang mengakibatkan lembaga menjadi tidak sehat. Siapa saja akan ikhlas mendarmabaktikan apa saja yang dimiliki, jika mereka merasa diberlakukan secara adil dan jujur. Sikap tidak fair, tidak jujur dan tidak adil, selalu dibenci oleh semua orang. Relevan dengan itu, tepatlah rumusan sebuah prinsip manajemen kontemporer yang mengatakan bahwa pemimpin harus cerdik, tetapi sekali-kali jangan mencoba-coba menggunakan kecerdikannya untuk menipu orang lain. Di sini suasana keterbukaan lagi-lagi penting untuk menghindari lahirnya sû’ al-zhann atau saling tidak mempercayai yang akan berdampak negatif pada pertumbuhan organisasi.  Polarisasi warga kampus atas dasar perbedaan paham keagamaan, etnis atau asal daerah diberi toleransi, dan bahkan dikembangkan sepanjang tidak mengganggu keutuhan warga kampus secara keseluruhan. Perbedaan yang melahirkan polarisasi itu suatu ketika menjadi penting jika dengan polarisasi itu dapat ditumbuh-kembangkan suasana fastabiqû al-khairat, sehingga dapat memacu pertumbuhan dan dinamika kampus.
2.      Manajemen Pengembangan Kampus 
Dalam al-Qur’an terdapat petunjuk bagaimana mengembangkan komunitas manusia. Beberapa ayat yang dikenal sebagai awal turunnya al-Qur’an, yakni awal surat al-`Alaq dan awal surat al-Muddatstsir, memberikan inspirasi bagaimana sebuah gerakan membangun masyarakat seharusnya dilakukan. Surat al-`Alaq diawali dengan kata qirâ’ah atau iqra’, yaitu perintah membaca. Kemudian pada ayat pertama surat al Muddatstsir, yang selama ini dikenal sebagai ayat-ayat yang turun setelahnya, berisi seruan pada kaum berselimut (muddatstsir), mereka diperintah untuk qiyâm atau bangkit. Perintah selanjutnya adalah melakukan bersuci (thahârah). Dalam konteks bersuci terdapat ayat perintah meninggalkan angkara murka dan larangan terhadap orang yang berharap/mengangan-angankan sesuatu yang mustahil terjadi atau memberi sesuatu yang jumlahnya sedikit agar memperoleh sesuatu yang jumlahnya lebih banyak.(wa ar-rujza fahjur, wa lâ tamnun tastaktsir). Ada dua ayat lagi, yang penting sekali kaitannya dengan perjuangan atau berjihad. Berjuang harus dimaksudkan untuk mengagungkan asma Allah (wa rabbaka fakabbir). Selain itu harus bersabar (wa li rabbika fashbir). Sebagai makhluk beriman maka seluruh rangkaian amal dan pengabdiannya harus diarahkan pada tujuan tunggal, yaitu menggapai ridha Allah swt. Seharusnya pengembangan lembaga pendidikan tinggi Islam mengacu pada petunjuk ayat-ayat al-Qur’an ini. Pertama dimulai dari membaca (qirâ’ah) kondisi internal maupun eksternal kampus, meliputi: potensi, tantangan, maupun peluangnya. Pemahaman terhadap hal itu semua melahirkan kesadaran. Muddatsir adalah gambaran orang yang lagi pasif (berselimut), maka hal itu merupakan sebuah seruan untuk melahirkan kesadaran agar berlanjut terjadi qiyâm atau kebangkitan. Kesadaran akan menjadi sebuah kekuatan pendorong terjadinya kebangkitan.


KESIMPULAN
Sebagai sebuah konsep awal, Tarbiyah Ulî al-Albâb ini masih memerlukan pengujian yang seksama. Sebab, konsep ini disusun semata-mata didasarkan atas pandangan-pandangan yang lebih bersifat idealis, yang bisa jadi jauh dari kebutuhan nyata atau aspirasi masyarakat yang sedang berkembang. Sebuah konsep dapat dijalankan dengan baik dan maksimal jika ada kesesuaian dengan kekuatan dan kenyataan di lapangan. Sementara dalam realitasnya akhir-akhir ini masyarakat sedang dilanda oleh budaya ekonomi kapitalistik yang serba menuntut keuntungan besar dan cepat dari usaha dan modal yang serendah-rendahnya. Jika ungkapan tersebut betul, maka konsep ini sangat kontradiktif dengan budaya masyarakat yang berkembang saat ini.  Akan tetapi, sadar akan fenomena kualitas pendidikan yang semakin hari tidak menunjukkan kemajuan, bahkan cenderung merosot, maka konsep ini diharapkan, sekalipun mungkin dinilai bersifat utopis, menjadi bukti bahwa ternyata masih ada sebagian masyarakat yang benar-benar menaruh keprihatinan terhadap kualitas pendidikan. Atas dasar keprihatinan yang amat mendalam tentang pendidikan kita selama ini, konsep ini disusun.












[1] Khusrur Rony Al Jufri, Pengaruh Iptek Dalam Kehidupan, ( Mimbar Depar Temen Agama,  Jawa   Timur Tahun 2005  ke XIX ), hlm. 46
[2] Nata Abuddin, manajemen pendidikan, Prenada Media, bogor, 2003,hlm. 3.
[3] Lihat sudirman. Dkk. Ilmu pendidikan. ( Jakarta : mutiara, 1986). Cet. I, hlm. 65
[4]  Diantar buku yang membahas pendidikan islam dalam perspektif Al-Quran adalah Muhammad quthb.
[5] Nurhidayatullah, Insan kamil, Metode Islam Memanusiakan Manusia, (Bekasi, Inti Media,  2002), hlm. 219
[6] Semua ayat Al Quran diambil dari Al Quran dan ter jemahan Departemen Agama RI (Surabaya, Al Hidayah),hlm 75
[7] Semua ayat Al Quran diambil dari Al Quran dan ter jemahan Departemen Agama RI (Surabaya, Al Hidayah),hlm 124