Oleh : JIMI HARIANTO, M.Pd.I
MENAJEMEN BERBASIS ULUL ALBAB
A.
Latar
Belakang
Dengan
perkembangan zaman yang semakin komplek dan majunya proses ilmu pengetahuan dan
tehnologi akan selalu membawa perubahan dalam aspek kehidupan, dan kini hal
tersebut telah dirasakan dan menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang cukup
pesat, baik dari segi pendidikan, struktur ekonomi, sosial, budaya dan juga
dari segi pola dan gaya hidup, sehingga terjadi pergeseran suatu nilai baik
buruk, khususnya yang berkaitan dengan norma-norma agama[1]
Peningkatan
mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan dibidang pendidikan nasional dan
merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia
secara kaffah. Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
Islam di Indonesia sangat terkait dengan kegiatan dakwah islamiyah. Pendidikan
Islam berperan sebagai mediator dimana ajaran islam dapat disosoalisasikan kepada masyarakat dalam berbagai
tingkatannya. Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qura’an dan
Al-Sunnah. Sehubungan dengan itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan
pengamalan masyarakat terhadap ajaran
Islam amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan islam yang diterimanya.[2]
Bertolak dari
kerangka tersebut diatas, maka pendidikan Islam di Indonesia seringkali
berhadapan dengan berbagai problematika yang tidak ringan. Diketahui bahwa
sebagai sebuah system pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang antara
satu dan lainnya saling berkaitan.[3]
Komponen tersebugt meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan
profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran ,
sarana dan prasarana, evaluasi, pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen
yang terdapat dalam pendidikan ini sering berjalan apa adanya, alami dan
tradisional, karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang. Akibat dari
keadaan demikian, maka mutu pendidikan Islam seringkali menunjujkan keadaan yang
kurang mengembirakan.
Landasan dan
dasar pendidikan Islam yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah belum benar-benar digunakan
sebagai mestinya. Hal ini sebagai akibat
belum adanya sarjana dan pakar di Indonesia yang secara khusus mendalami
pemahaman Al-Quran dan Al-Sunnah dalam perspektif pendidikan Islam.[4]
Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan Al-Qur’an Al-Sunnah
yang berhubungan dengan pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan
dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai akibat
dari kekurangan tersebugt diatas, maka tujuan dan visi pendidikan Islam juga
masih belum berhasil dirumuskan dengan baik. Tujuan pendidikan Islam seringkali
diarahkan untuk menghasilkan
manusia-manusia yang hanya menguasi ilmu Islam saja, dan visinya diarakan untuk
mewujudkan manusia yang salih dalam arti
yang taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akhirat saja. Akibatnya dari
keadaan yang demikian ini, maka lulusan pendidikan Islam hanya memiliki
kesempatan dan peluang yang terbatas, yaitu sebagai pengawal moral bangsa.
Mereka kurang mampu bersaing dan tidak mampu merebut peluang dan kesempatan
yang tersedia dalam memasuki lapangan kerja. Akibat lebih lanjut lulusan
pendidikan Islam semakin termarginalisasikan dan tak berdaya. Keadaan yang
demikian merupakan masalah besar yang perlu segera diatasi, lebih- lebih lagi
jika dihubungnkan dengan adanya persaingan yang makin kompetitif pada era
globalisasi.
B.
Konsep
Dasar Menajemen Berbasis Ulul Albab
Dalam Al Quran,
ulul albab adalah seseorang dengan kualitas tertentu. Kata al-bab, merupakan
kata jamak dari al-lub, yang artinya otak, pikiran, intelek.[5]
Jadi seorang ulul al-bab adalah seorang yang memiliki pemikiran yang lebih dari
orang lain, baik karena kecerdasan maupun intensitasnya. Dengan perkataan lain,
ulul al-bab adalah seorang pemikir, cendekiawan, cerdik-cendekia, atau seorang
filosof yang berfikir mendalam. Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai
al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual.
Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an.
Namun, Karena itulah
para mufassir kemudian memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul
albab, Imam Nawawi, misalnya menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang
berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting mereka
mengerti, mengusai dan mengamalkan ajaran Islam.
Sementara itu
Ibn Mundzir menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertakwa kepada
Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan
masyarakat, elit ataupun marginal. Sebelumnya melihat tanda-tanda atau
ciri-ciri ulul albab yang disampaikan Al-Qur’an, ada baiknya kita diskusikan
pengertian istilah-istilah ini. Dalam bahasa Indonesia ada tiga istilah yang
hampir sama tapi sangat jauh berbeda artinya sarjana, ilmuwan dan intelektual.
Sarjana diartikan sebagai orang yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi
dengan menggondol gelar sarjana. Jumlahnya amat banyak, karena setiap tahun
perguruan tinggi selalu memprodoksi sarjana, Ilmuan adalah mereka yang
mendalami ilmunya kemudian berusaha mengembangkannya, baik dengan pengamatan
atau analisa sendiri. Dalam berbagai kesempatan, seorang ilmuwan terkadang
berbicara dengan bahasa yang universal dan terkesan asing, sehingga sulit
dipahami umatnya. Dari sekian sarjana, hanya beberapa yang menjadi ilmuwan.
Lainnya hanya sibuk dalam kegiatan-kegiatan rutin. Adapun intelektual adalah mereka yang
terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita, yang mengatasi
kebutuhan-kebutuhan praktis. Maksudnya, intelektual adalah orang yang menggarap
sekaligus menggabungkan antara teori dengan operasionalnya berdasarkan
gagasan-gagasan normatif. Kaum intelektual adalah mereka yang berusaha
membentuk lingkungan dan masyarakatnya dengan gagasan-gagasan analisis dan
normatif. Ali Syariati memberi istilah intelektual dengan Rausyanfikr yang
artinya pemikir yang tercerahkan. Rausyanfikr tidak hanya menemukan kenyataan
atau menyajikan fakta sesuai apa adanya seperti kerja ilmuwan tetapi berusaha
menemukan kebenaran sekaligus memberikan penilaian terhadap sesuatu bagaimana
seharusnya. Selain itu, rausyafikr
tidak bersikap netral dalam pekerjaannya sebagaimana ilmuwan. Rausyanfikr
terjun langsung
melibatkan diri pada idiologi. Ia adalah "fa'il" (penentudan pelaku)
sejarah, bukan "maf'ul" (objek) sejarah. Terjemahanyang paling tepat
untuk rausyanfikr, mungkin, adalah intelektual dalam arti yang
sebenar-benarnya. Menurut Jalaluddin Rahmad intelektual bukan sekedar sarjana
atau ilmuwan. Intelektual adalah orang yang benar-benar merasa terpanggil untuk
memperbaiki masyarakat dan bangsanya, menangkapaspirasinya, kemudian merumuskan
dan menawarkan strategi serta alternatif pemecahannya. Sudah barang tentu,
dalam hal ini mereka ikut terjun langsung dalam pelaksanaannya, bukan sekedar
menyodorkan konsep. Kaum intelektual
sangat dekat dengan umatnya, sehingga segala kebutuhan dan kesusahan umat dapat
diketahui dengan jelas. yang membedakan ulul albab dengan ilmuan atau
intelektual lainnya adalah, seorang ulul albab rajin bangun tengah malam untuk
rukuk dan bersujud dihadapan Allah. Dengan demikian, ulul albab adalah sama
dengan intelektual plus ketakwaan, intelektual plus kesalehan. Dalam diri ulul
albab berpadu sifat-sifat ilmuan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang
dekat dengan Allah SWT. Dengan begitu, konsep-konsep penyelesaian yang disodorkan
benar-benar bisa menemui sasaran. Tegasnya, intelektual bukan sekedar orang
yang hanya dapat berbicara di mimbar dan seminar atau kerja di belakang meja,
melainkan orang yang mempunyai konsep sekaligus mampu mengaplikasikannya. Dalam Islam, seorang intelektual bukan
sekedar orang yang sanggup melahirkan gagasan-gagasan normatif dan aplikasinya,
tetapi sekaligus juga memahami ajaran dan sejarahagamanya. Artinya, intelektual
muslim harus menguasai ajaran-ajaran agamanya.
Sejauh itu Al-Qur’an sendiri
tidak menjelaskan secara definitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya
menyebutkan tanda-tandanya saja. Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam
Al-Qur’an adalah:
1. Bersungguh-sungguh
menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (Al-Qur’an
maupun gejala-gejala alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya,
kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama.
cÎ)
Îû
È,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏF÷z$#ur
È@ø©9$#
Í$pk¨]9$#ur
;M»tUy
Í<'rT[{
É=»t6ø9F{$#
ÇÊÒÉÈ
"Sesungghnya,
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran,
190).[6]
2. Selalu
berpegang pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik
dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan
mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung
banyak orang. "Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun
kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu.
(#qà)¨?$$sù
©!$#
Í<'ré'¯»t
É=»t6ø9F{$#
öNä3ª=yès9
cqßsÎ=øÿè?
ÇÊÉÉÈ
“Bertaqwalah
hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS,Al-Maidah, 100)[7]
3. Teliti dan kritis dalam
menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang
lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain,
sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain.
4.
Sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah
penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan.
5. Ulul Albab senansiasa "membakar"
singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang
Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita
serta kebobrokan moral manusia di muka bumi.
6.
Tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan
manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab
tidak mau berbuat semena-mena.
C. Tujuan Menajemen Berbasis Ulul Albab
Menjemen berbasis ulul albab bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan dalam iman dan takwa, tampaknya
seorang ulul-albab tak jauh berbeda dengan seorang intelektual; ini jika
dilihat dari beberapa tanda ulul-albab yang telah disebutkan seperti:
bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan keyakinannya, dan
merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Namun dalam ayat lain, Allah
swt dengan jelas membedakan seorang ulul-albab dengan intelektual:
ô`¨Br&
uqèd
ìMÏZ»s%
uä!$tR#uä
È@ø©9$#
#YÉ`$y
$VJͬ!$s%ur
âxøts
notÅzFy$#
(#qã_ötur
spuH÷qu
¾ÏmÎn/u
3
ö@è%
ö@yd
ÈqtGó¡o
tûïÏ%©!$#
tbqçHs>ôèt
tûïÏ%©!$#ur
w
tbqßJn=ôèt
3
$yJ¯RÎ)
ã©.xtGt
(#qä9'ré&
É=»t7ø9F{$#
ÇÒÈ
“Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan
berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya:
samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu
dan tidak memperoleh peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. Az zumar:9)
Dengan merujuk
kepada firman Allah di atas, inilah “tanda khas” yang
membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelektual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan rukuk di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah Swt, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya.
membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelektual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan rukuk di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah Swt, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya.
Tanda khas yang lain disebutkan
dalam Al-Quran:
tûïÏ%©!$#
tbrãä.õt
©!$#
$VJ»uÏ%
#Yqãèè%ur
4n?tãur
öNÎgÎ/qãZã_
“Dia zikir kepada Allah dalam
keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan keadaan berbaring.” (QS 3:191)
Kalau dapat saya simpulkan dalam
satu rumus, maka ulul-albab adalah sama dengan intelektual plus ketakwaan,
intelektual plus kesalehan. Di dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat
ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat dengan Allah swt.
Sebetulnya Islam mengharapkan bahwa dari setiap jenjang pendidikan lahir
ulul-albab, bukan sekadar sarjana yang tidak begitu banyak gunanya, kecuali
untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin. Islam mengharapkan dari
jenjang-jenjang pendidikan lahir ilmuwan yang intelektual dan yang sekaligus
ulul-albab.
D.
Manfaat
Menajemen Berbasis Ulul Albab
Sosok manusia
ulû al-albâb adalah orang yang mengedepankan dzikr, fikr dan amal shaleh. Ia
memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang
lembut dan semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan
sebenar-benarnya perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadirannya di muka
bumi sebagai pemimpin menegakkan yang hak dan menjauhkan kebatilan. Ulû al-albâb adalah manusia yang bertauhid.
Kalimah syahadah sebagai pegangan pokoknya, “Asyhadu an la ilâha illâ Allâh, wa
asyhadu anna Muhammad Rasûl Allâh.” Sebagai penyandang tauhid, ia berpandangan
bahwa tidak terdapat kekuatan di muka bumi ini selain Allah. Semua makhluk
manusia berposisi sama. Jika terdapat seseorang atau sekelompok/sejumlah orang
dipandang lebih mulia, adalah oleh karena ia atau mereka telah menyandang ilmu,
iman dan amal shaleh (taqwa). Penyandang derajat ulû al-albâb tidak akan takut
dan merasa rendah di hadapan siapapun sesama manusia. Kelebihan seseorang
berupa kekuasaan, kekayaan, keturunan/nasab dan keindahan/ kekuatan tubuh tidak
menjadikannya ia lebih mulia dari pada yang lain. Mencari ilmu bukan sebatas
untuk memperoleh ijazah dan kemudahan dalam mencari pekerjaan dan rizki. Ulû
al-albâb selalu yakin pada janji Allah bahwa rizki seseorang selalu berada di
bawah keputusan Tuhan. Tidak selayaknya seseorang merisaukan terhadap rizki dan
jenis pekerjaan yang akan diperoleh. Kebahagiaan bukan semata-mata terletak
pada keberhasilan mengumpulkan rizki, tetapi pada kedekatan dengan Yang Maha
Kuasa, Allah swt. Mahasiswa mencari ilmu pengetahuan lewat observasi,
eksperimen dan membaca berbagai literatur bukan semata-mata untuk memperoleh
indeks prestasi (IP) dan/atau sertifikat/ijazah, apalagi dikaitkan untuk
mendapatkan pekerjaan dan rizki, tetapi adalah kewajiban agar menyandang
derajad ulû al-albâb.
Manfaat menajemen
pendidikan berbasis ulul albab di perguruan tinggi diarahkan untuk menjadikan
seluruh mahasiswanya :
1.
Berilmu pengetahuan yang luas,
2.
mampu melihat/membaca fenomena alam dan sosial
secara tepat,
3.
Memiliki otak yang cerdas,
4.
berhati lembut dan bersemangat juang tinggi karena Allah sebagai
pengejawantahan amal shaleh.
Jika kelima
kekuatan ini berhasil dimiliki oleh siapa saja yang belajar di kampus ini,
artinya pendidikan ulû al-albâb sudah dipandang berhasil. Sebab, dengan
ciri-ciri itu seseorang diharapkan akan memiliki kekokohan akidah dan kedalaman
spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional.
E.
Implementasi
Menajemen Berbasis Ulul Albab
Manajemen Pengelolaan
dan Pengembangan Kampus Al-Qur’an bagi
umat Islam adalah petunjuk segala kehidupan, tak terkecuali dalam mengembangkan
organisasi pendidikan yang melibatkan orang banyak. Membangun kampus sama
artinya dengan membangun orang, baik dari sisi karakter, perilaku, keilmuan
maupun ketrampilan. Mengatur orang
banyak dengan berbagai sifatnya harus menggunakan pendekatan kemanusiaan.
Sebab, manusia selain memiliki potensi maslahah, sekaligus juga menyandang
potensi sifat-sifat mafsadah. Kedua sifat yang berlawanan itu tidak akan dapat
dihilangkan, oleh karena itu harus disalurkan pada hal yang menguntungkan. Selanjutnya harus dibedakan antara manajemen
pengelolaan kampus dan manajemen pengembangan kampus. Manajemen pengelolaan
kampus lebih tertuju pada penataan atau pengaturan terhadap seluruh kegiatan
pelayanan pendidikan. Sedangkan manajemen pengembangan kampus lebih diarahkan
pada upaya menumbuh-kembangkan kampus agar tahap demi tahap mengalami kemajuan.
Kedua jenis manajemen tersebut diuraikan secara garis besar.
1.
Manajemen
Pengelolaan Kampus
Manajemen yang
dikembangkan agar lembaga ini tumbuh secara wajar, dinamis, inovatif dan
terhindar dari hambatan psikologis harus selalu menumbuh-kembangkan suasana
kebersamaan, keterbukaan, tanggung jawab, amanah dan profesional. Sebagai
lembaga pendidikan, kampus ini memiliki peran dan tanggung jawab menumbuh
-kembangkan anak-anak muda yang penuh harap agar kelak menjadi manusia ulû
al-albâb. Lembaga ini tak ubahnya sebidang persemaian anak manusia yang harus
tumbuh secara wajar, sehat dan sempurna. Sedemikian berat peran yang harus
diemban oleh lembaga pendidikan tinggi ini. Oleh karena itu, lembaga ini harus
disangga oleh orang banyak, dan bukan justru saling memperebutkan amanah.
Perebutan yang berlebihan hanya akan memperlemah kekuatan yang diperlukan untuk
menyangga beban berat tersebut. Sebagai langkah antisipatif untuk menjaga
kebersamaan yang kukuh kampus ini harus menjauhkan diri dari atmosfir politik.
Sebab, kampus bukan lembaga politik, melainkan lembaga akademik. Selain itu
untuk menjaga keutuhan bersama maka harus selalu diwaspadai, jika muncul gejala
seseorang atau sekelompok orang merasa terpinggirkan, maka harus segera
dihimpun. Keutuhan dan kebersamaan dalam kampus ini harus ditempatkan pada
posisi strategis yang tak boleh diabaikan. Partisipasi semua pihak, sebagai
syarat agar organisasi dapat tumbuh sehat, harus didasarkan atas
profesionalisme. Penetapan seseorang menduduki jabatan tertentu harus dipilih
secara fair, objektif dan demokratis. Penempatan seseorang untuk menduduki jabatan
tertentu yang hanya didasarkan pada pertimbangan kedekatan hubungan kelompok
atau primordial akan meruntuhkan semangat partisipasi. Profesionalisme menuntut
rasionalisme yang merupakan ciri khas perguruan tinggi. Hal lain yang tidak
boleh dilanggar adalah tumbuhnya rasa ketidak-adilan, termasuk dalam pembagian
informasi. Perasaan tidak adil akan melahirkan friksi-friksi yang mengakibatkan
lembaga menjadi tidak sehat. Siapa saja akan ikhlas mendarmabaktikan apa saja
yang dimiliki, jika mereka merasa diberlakukan secara adil dan jujur. Sikap
tidak fair, tidak jujur dan tidak adil, selalu dibenci oleh semua orang.
Relevan dengan itu, tepatlah rumusan sebuah prinsip manajemen kontemporer yang
mengatakan bahwa pemimpin harus cerdik, tetapi sekali-kali jangan mencoba-coba
menggunakan kecerdikannya untuk menipu orang lain. Di sini suasana keterbukaan
lagi-lagi penting untuk menghindari lahirnya sû’ al-zhann atau saling tidak
mempercayai yang akan berdampak negatif pada pertumbuhan organisasi. Polarisasi warga kampus atas dasar perbedaan
paham keagamaan, etnis atau asal daerah diberi toleransi, dan bahkan
dikembangkan sepanjang tidak mengganggu keutuhan warga kampus secara
keseluruhan. Perbedaan yang melahirkan polarisasi itu suatu ketika menjadi
penting jika dengan polarisasi itu dapat ditumbuh-kembangkan suasana fastabiqû
al-khairat, sehingga dapat memacu pertumbuhan dan dinamika kampus.
2.
Manajemen
Pengembangan Kampus
Dalam al-Qur’an
terdapat petunjuk bagaimana mengembangkan komunitas manusia. Beberapa ayat yang
dikenal sebagai awal turunnya al-Qur’an, yakni awal surat al-`Alaq dan awal
surat al-Muddatstsir, memberikan inspirasi bagaimana sebuah gerakan membangun
masyarakat seharusnya dilakukan. Surat al-`Alaq diawali dengan kata qirâ’ah
atau iqra’, yaitu perintah membaca. Kemudian pada ayat pertama surat al
Muddatstsir, yang selama ini dikenal sebagai ayat-ayat yang turun setelahnya,
berisi seruan pada kaum berselimut (muddatstsir), mereka diperintah untuk qiyâm
atau bangkit. Perintah selanjutnya adalah melakukan bersuci (thahârah). Dalam
konteks bersuci terdapat ayat perintah meninggalkan angkara murka dan larangan
terhadap orang yang berharap/mengangan-angankan sesuatu yang mustahil terjadi
atau memberi sesuatu yang jumlahnya sedikit agar memperoleh sesuatu yang
jumlahnya lebih banyak.(wa ar-rujza fahjur, wa lâ tamnun tastaktsir). Ada dua
ayat lagi, yang penting sekali kaitannya dengan perjuangan atau berjihad.
Berjuang harus dimaksudkan untuk mengagungkan asma Allah (wa rabbaka fakabbir).
Selain itu harus bersabar (wa li rabbika fashbir). Sebagai makhluk beriman maka
seluruh rangkaian amal dan pengabdiannya harus diarahkan pada tujuan tunggal,
yaitu menggapai ridha Allah swt. Seharusnya pengembangan lembaga pendidikan
tinggi Islam mengacu pada petunjuk ayat-ayat al-Qur’an ini. Pertama dimulai
dari membaca (qirâ’ah) kondisi internal maupun eksternal kampus, meliputi:
potensi, tantangan, maupun peluangnya. Pemahaman terhadap hal itu semua
melahirkan kesadaran. Muddatsir adalah gambaran orang yang lagi pasif (berselimut),
maka hal itu merupakan sebuah seruan untuk melahirkan kesadaran agar berlanjut
terjadi qiyâm atau kebangkitan. Kesadaran akan menjadi sebuah kekuatan
pendorong terjadinya kebangkitan.
KESIMPULAN
Sebagai sebuah konsep awal, Tarbiyah
Ulî al-Albâb ini masih memerlukan pengujian yang seksama. Sebab, konsep ini
disusun semata-mata didasarkan atas pandangan-pandangan yang lebih bersifat
idealis, yang bisa jadi jauh dari kebutuhan nyata atau aspirasi masyarakat yang
sedang berkembang. Sebuah konsep dapat dijalankan dengan baik dan maksimal jika
ada kesesuaian dengan kekuatan dan kenyataan di lapangan. Sementara dalam
realitasnya akhir-akhir ini masyarakat sedang dilanda oleh budaya ekonomi
kapitalistik yang serba menuntut keuntungan besar dan cepat dari usaha dan
modal yang serendah-rendahnya. Jika ungkapan tersebut betul, maka konsep ini
sangat kontradiktif dengan budaya masyarakat yang berkembang saat ini. Akan tetapi, sadar akan fenomena kualitas
pendidikan yang semakin hari tidak menunjukkan kemajuan, bahkan cenderung
merosot, maka konsep ini diharapkan, sekalipun mungkin dinilai bersifat utopis,
menjadi bukti bahwa ternyata masih ada sebagian masyarakat yang benar-benar
menaruh keprihatinan terhadap kualitas pendidikan. Atas dasar keprihatinan yang
amat mendalam tentang pendidikan kita selama ini, konsep ini disusun.
[1]
Khusrur Rony Al Jufri, Pengaruh Iptek Dalam Kehidupan, ( Mimbar Depar
Temen Agama, Jawa Timur Tahun
2005 ke XIX ), hlm. 46
[2]
Nata Abuddin, manajemen pendidikan, Prenada Media, bogor, 2003,hlm. 3.
[3]
Lihat sudirman. Dkk. Ilmu pendidikan. ( Jakarta : mutiara, 1986). Cet.
I, hlm. 65
[4] Diantar buku yang membahas pendidikan islam
dalam perspektif Al-Quran adalah Muhammad quthb.
[5] Nurhidayatullah,
Insan kamil, Metode Islam Memanusiakan Manusia, (Bekasi, Inti Media,
2002), hlm. 219
[6] Semua
ayat Al Quran diambil dari Al Quran dan ter jemahan Departemen Agama RI
(Surabaya, Al Hidayah),hlm 75
[7]
Semua ayat Al Quran diambil dari Al Quran dan ter jemahan Departemen Agama
RI (Surabaya, Al Hidayah),hlm 124