Mengarungi Samudra Kehidupan, kita ibarat pengembara hidup merupakan perjuangan yang akan jadi saksi pengorbanan. Baca Selengkapnya: Cara Membuat Tulisan Berjalan (Marquee) Pada Blog http://bisikan.com/cara-membuat-tulisan-berjalan-marquee-pada-blog#ixzz3jvtZ953R

Jumat, 12 Juni 2015

Religiositas Puasa

Religiositas Puasa
Oleh Rijal Firdaos

Bagi segolongan orang, ibadah puasa mengandung makna lebih dari sekedar sariat. Melainkan, bagaimana berupaya hadir menggapai hakikat, yang secara substansial menjadi modal penting bagi diri yang berpuasa.
Di masa modern seperti ini, kebutuhan manusia akan nilai-nilai spiritual sepertinya semakin meningkat, kendati sebagian kecilnya masih menganggap tidak begitu urgen. Padahal, kebutuhan tersebut sedianya akan terus saling bersinerji antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Shalat, menjadi ritus ibadah yang akan melepaskan seseorang dari urusan duniawi, zakat menjauhkan seorang muslim dari nafsu kepada harta, haji menjauhkan seorang muslim dari dosa, dan rasialisme. Sementara puasa menjauhkan seseorang dari nafsu jasmaniah dan dorongan-dorongan emosional.
Tujuan akhir dari setiap ibadah tersebut di atas, diharapkan mampu menjadi nilai religiositas yang memberikan pencerahan bagi kehidupan manusia dan sikap keberagamaan.
Kedudukan Manusia
Jalaluddin Rakhmat (1994) mengatakan, bahwa dalam Alquran, terdapat tiga kunci yang mengacu pada makna pokok manusia yaitu; basyar, insan, dan al-nas. Pertama: Konsep basyar dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia: seperti makan, minum, seks, dsb. Konsep ini, berkaitan erat dengan ibadah puasa yang memerintahkan kita untuk menahan diri dari makan dan minum, serta segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa.
Namun, kedudukan manusia pada konsep ini, menurut penulis, termasuk kedudukan dengan tingkatan paling dasar, yang hanya memerhatikan pada kebutuhan pertahanan hidupnya secara fisik semata. Karena, hidup tidaklah cukup sibuk mengurusi badan kasar, tanpa mengisinya dengan ilmu dan cahaya ruhaniyah.
 Kedua: Kata insan, yang dalam Alquran disebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: pertama, insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai khalifah atau pemikul amanah; kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia; dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Kedudukan manusia dalam konsep ini banyak mengandung makna, dan menempatkannya dalam berbagai peristiwa. Baik secara positif maupun negatif, mulai dari proses pembentukannya, hingga diberikan kepercayaan oleh Allah sebagai duta di muka bumi. Sehingga wajar kemudian, jika setiap perintah agama, termasuk puasa, akan semakin memperkokoh spiritualitas seseorang.
Ketiga: Kata al-nas, dalam Alquran disebut sebanyak 240 kali, mengacu kepada manusia sebagai mahkluk sosial. Hal ini mempertegas, bahwa puasa di dalamnya banyak terdapat pendidikan sosial yang mengajarkan sifat empati terhadap sesama. Berpuasa menahan haus dan lapar, berusaha memberikan penegasan, bahwa ibadah ini, tidak mengenal status sosial bagi siapa saja yang beriman menjalankannya, baik antara miskin dan kaya, atau antara pejabat dengan rakyat.

Hakikat Religiositas
Sutrisno (2005) menjelaskan religiositas sebagai keruhanian atau spiritualitas, dalam arti kesadaran manusia bahwa nilai, arah, dan orientasi hidupnya ditentukan oleh hubungannya yang damai dengan Ilahi Yang Suci. Religiositas juga diartikan sebagai potensi atau kemampuan yang pokok dari kebudayaan manusia dalam menghayati hidupnya berdasarkan pada nurani yang dekat dengan Sang Sumber Cahaya, yaitu Tuhan.
Puasa sebagai instrumen meniti jalan menuju Allah, harus mampu menjadi benteng bagi terbentuknya suatu tatanan nilai luhur bagi diri yang berpuasa, melalui hubungan komunikasi secara vertikal dengan Allah, yang menyebabkan lahirnya hubungan secara horizontal.
             Karena, fenomena religius menurut Emile Durkheim setidaknya terdapat dua bentuk, yaitu kepercayaan dan ritus. Pertama, merupakan pendapat-pendapat (states of opinion) terdiri dari representasi-representasi, dan kedua adalah bentuk tindakan (action) yang khusus. Namun, di antara dua kategori fonomena ini terdapat jurang yang memisahkan cara berpikir (thinking) dari cara berperilaku (doing).
Pernyataan di atas sangat relevan dengan fenomena religius masyarakat kita yang ada. Di mana, kenyataan antara kepercayaan dan tindakan tidak selalu berjalan lurus. Agama yang dipandang sebagai segi kejiwaan (psychological state), atau sebagai kondisi subjektif dalam jiwa manusia, belum seutuhnya diamalkan dan dirasakan secara menyeluruh (kaffah) oleh penganut agama.

Semoga, ibadah puasa tahun ini bisa menempati ruang yang luas dalam memberikan tarbiyah (pendidikan) bagi individu yang berpuasa,  demi pencapaian derajat takwa yang diharapkan dalam Alquran. Wallahualam.

                                                                                                Penulis
Dosen IAIN Raden Intan, Lampung








Tidak ada komentar:

Posting Komentar