Religiositas
Puasa
Oleh Rijal Firdaos
Bagi segolongan orang, ibadah puasa mengandung
makna lebih dari sekedar sariat. Melainkan, bagaimana berupaya hadir menggapai hakikat,
yang secara substansial menjadi modal penting bagi diri yang berpuasa.
Di masa modern seperti ini, kebutuhan manusia
akan nilai-nilai spiritual sepertinya semakin meningkat, kendati sebagian
kecilnya masih menganggap tidak begitu urgen. Padahal, kebutuhan tersebut sedianya
akan terus saling bersinerji antara satu ibadah dengan ibadah lainnya. Shalat,
menjadi ritus ibadah yang akan melepaskan seseorang dari urusan duniawi, zakat
menjauhkan seorang muslim dari nafsu kepada harta, haji menjauhkan seorang
muslim dari dosa, dan rasialisme. Sementara puasa menjauhkan seseorang dari nafsu
jasmaniah dan dorongan-dorongan emosional.
Tujuan akhir dari setiap ibadah tersebut di
atas, diharapkan mampu menjadi nilai religiositas yang memberikan pencerahan
bagi kehidupan manusia dan sikap keberagamaan.
Kedudukan Manusia
Jalaluddin Rakhmat (1994) mengatakan, bahwa
dalam Alquran, terdapat tiga kunci yang mengacu pada makna pokok manusia yaitu;
basyar, insan, dan al-nas. Pertama:
Konsep basyar dihubungkan dengan
sifat-sifat biologis manusia: seperti makan, minum, seks, dsb. Konsep ini,
berkaitan erat dengan ibadah puasa yang memerintahkan kita untuk menahan diri
dari makan dan minum, serta segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa.
Namun, kedudukan manusia pada konsep ini, menurut
penulis, termasuk kedudukan dengan tingkatan paling dasar, yang hanya memerhatikan
pada kebutuhan pertahanan hidupnya secara fisik semata. Karena, hidup tidaklah
cukup sibuk mengurusi badan kasar, tanpa mengisinya dengan ilmu dan cahaya
ruhaniyah.
Kedua: Kata
insan, yang dalam Alquran disebut
sebanyak 65 kali, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: pertama, insan dihubungkan dengan konsep manusia
sebagai khalifah atau pemikul amanah; kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia; dan ketiga, insan dihubungkan dengan proses
penciptaan manusia. Semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis
atau spiritual.
Kedudukan manusia dalam konsep ini banyak
mengandung makna, dan menempatkannya dalam berbagai peristiwa. Baik secara
positif maupun negatif, mulai dari proses pembentukannya, hingga diberikan
kepercayaan oleh Allah sebagai duta di muka bumi. Sehingga wajar kemudian, jika
setiap perintah agama, termasuk puasa, akan semakin memperkokoh spiritualitas
seseorang.
Ketiga: Kata al-nas, dalam Alquran disebut sebanyak 240 kali, mengacu kepada
manusia sebagai mahkluk sosial. Hal ini mempertegas, bahwa puasa di dalamnya
banyak terdapat pendidikan sosial yang mengajarkan sifat empati terhadap
sesama. Berpuasa menahan haus dan lapar, berusaha memberikan penegasan, bahwa
ibadah ini, tidak mengenal status sosial bagi siapa saja yang beriman
menjalankannya, baik antara miskin dan kaya, atau antara pejabat dengan rakyat.
Hakikat Religiositas
Sutrisno (2005) menjelaskan religiositas
sebagai keruhanian atau spiritualitas, dalam arti kesadaran manusia bahwa
nilai, arah, dan orientasi hidupnya ditentukan oleh hubungannya yang damai
dengan Ilahi Yang Suci. Religiositas juga diartikan sebagai potensi atau
kemampuan yang pokok dari kebudayaan manusia dalam menghayati hidupnya
berdasarkan pada nurani yang dekat dengan Sang Sumber Cahaya, yaitu Tuhan.
Puasa sebagai instrumen meniti jalan menuju Allah,
harus mampu menjadi benteng bagi terbentuknya suatu tatanan nilai luhur bagi
diri yang berpuasa, melalui hubungan komunikasi secara vertikal dengan Allah, yang menyebabkan lahirnya hubungan secara horizontal.
Karena, fenomena religius menurut Emile
Durkheim setidaknya terdapat dua bentuk, yaitu kepercayaan dan ritus. Pertama,
merupakan pendapat-pendapat (states of
opinion) terdiri dari representasi-representasi, dan kedua adalah bentuk
tindakan (action) yang khusus. Namun,
di antara dua kategori fonomena ini terdapat jurang yang memisahkan cara
berpikir (thinking) dari cara
berperilaku (doing).
Pernyataan di atas sangat relevan dengan
fenomena religius masyarakat kita yang ada. Di mana, kenyataan antara
kepercayaan dan tindakan tidak selalu berjalan lurus. Agama yang dipandang
sebagai segi kejiwaan (psychological
state), atau sebagai kondisi subjektif dalam jiwa manusia, belum seutuhnya
diamalkan dan dirasakan secara menyeluruh (kaffah)
oleh penganut agama.
Semoga, ibadah puasa tahun ini bisa menempati
ruang yang luas dalam memberikan tarbiyah
(pendidikan) bagi individu yang berpuasa,
demi pencapaian derajat takwa yang diharapkan dalam Alquran. Wallahualam.
Penulis
Dosen IAIN Raden Intan, Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar